...
CHAPTER DUA
Pertemuan itu masih membekas untukku. Entah, Yeonjun bahkan ingat atau tidak, aku pun tidak paham.
Kami menunggu dalam diam. Gigiku bergemelutuk, sedangkan tubuhku terasa sekaku es. Pasti enak jika aku tetap bertahan di ruang tunggu dengan Paman Myungsoo daripada berbasah-basah ria di sini. Padahal aku tidak sempat menggapai minimarket untuk mengisi perutku yang keroncongan. Aku terduduk sembari memandangnya miring. "Kau .. baru pulang sekolah?"
"Entahlah, sudah lama tidak pulang, Noona."
"Oh." Aku bukan orang suci. Terkadang, aku pun memikirkan akan kabur dari rumah. Tapi Ibuku akan sakit jika aku melakukannya. Mungkin lelaki ini punya alasan. "Hmm, kau tinggal di mana?"
"Busan. Tapi, aku berakhir di sini."
"Oh, Busan."
Busan. Aku terenung beberapa saat. Rasanya masih sesak jika mengingat tempat itu, jika aku mengaitkannya dengan Myungsoo. Rasanya masih teramat aneh dengan semua hal-hal yang terus terjadi sampai di detik ini. "Kau tinggal dekat sini, Noona?"
Aku tersentak dan menggeleng. "Aku pergi naik bus dengan Paman kekasihku."
Yeonjun mengangguk singkat. Hujan masih terus ganas di sekitar mereka. Aku mengepalkan tanganku yang buku jarinya terasa teramat dingin. Yeonjun melihatku dan tersenyum kecil. "Pasti tidak enak ya terjebak di sini?"
"Ah, aku tadinya hendak ke minimarket," jawabku sekenanya.
"Seseorang perlu terjebak untuk suatu hal. Kau tidak sendirian." Yeonju menengadahkan wajahnya ke atas. Entah mengapa, aku menjadi bergidik ngeri dengan kalimatnya. Mungki dia terlihat hanya seperti remaja pada umumnya, tapi dari caranya berbicara dari ekspresi yang dia tunjukkan. Aku merasa kesakitan, luka, dan kesepian. Pasti dia sudah begitu jauh dari Busan kan? Mengapa tidak kembali? Aku menahan suaraku karena aku tahu itu cukup canggung untuk bertanya seperti itu. Apalagi kami baru bertemu. Aku tidak berhak mencampuri urusannya kan?
*
*
Sekembalinya dari minimarket—aku perlu merelakan tubuhku sepenuhnya basah—akhirnya aku mendekati Paman seraya menyodorkan sepotong roti cokelat dan minuman. Kami duduk bersisian. "Jadi, bagaimana?"
"Myeonsoo tetap belum boleh dijenguk dahulu," katanya kecewa.
"Uh, baiklah."
Paman menoleh ke arahku, tatapannya sendu. "Kau tidak akan pergi meninggalkannya kan?" Ada nada cemas yang mendalam dari suaranya. Aku memang bodoh akan perasaan manusia, tapi yang satu ini, aku tidak mungkin salah. Paman bahkan terus memandangku lekat, tanpa mengalihkannya untuk sedetik pun.
Aku menarik senyuman. "Tentu saja. Mana mungkin aku meninggalkannya?"
Kami sama sama terdiam untuk beberapa menit setelahnya. Paman mulai melepaskan jaketnya kemudian menyampirkannya di tubuhku. Hujan berupa rintik sewaktu kami akhirnya memutuskan untuk pulang. Perasaanku campur aduk, aku bahkan tidak mengerti mengapa aku masih merasa ada sesuatu yang menganjal dalam dadaku. Myeongsoo tengah mendapat perawatan! Aku perlu menanamkan ingatan itu baik-baik—tetapi aku merasa yakin bahwa keadaannya takkan membaik dalam waktu cepat.
Melihatnya menderita sama saja membuatku turut menderita. Apalagi, kami jadi terpisah seperti ini. Padahal biasanya, aku dan Myeongsoo bagaikan anak kembar yang sulit dipisahkan. Orang sekitar kami sudah mencap kami sebagai "pasangan manis" sampai aku pun sudah terbiasa berada di sampingnya.
Aku ingin dia pulang.
*
*
Yeonjun sudah berada di halte lagi. Bedanya, hari ini aku membawa payung dan aku sengaja berhenti bukan karena hendak berteduh. Aku memandanginya, menutup payungku dan mendekat. "Hei. Ingat aku?"
Laki-laki itu mengangkat wajahnya. Tatapannya menerawang. Semenit setelahnya barulah dia tersenyum. "Senang melihatmu kembali. Bagaimana keadaannya?"
"Uh? Kekasihku? Dia masih belum boleh ditemui. Ada beberapa prosedur yang aku tidak mengerti, tapi setidaknya, dengan datang kemari, aku jadi merasa lebih dekat dengannya."
Aku mengambil tempat untuk duduk, kemudian mengamatinya. "Kau masih tidak pulang ke Busan? Apakah kau tidak punya ongkos? Kemarin... kau tetap di sini atau bagaimana?" Suaraku tumpang tindih bersama dengan pikiran yang campur aduk. Apakah dia bahkan ... makan dan tidur nyenyak?
"Tidak perlu khawatir," jawab Yeonjun santai.
Tetap saja, aku terus memikirkannya. Sejenak, aku menghela napas dan memandang ke depan. Hujan masih saja setia bersama kami. Aku masih terjebak dalam banyak pikiranku, dan semuanya terarah kepada Myeongsoo. "Kekasihku itu tidak begitu sebelumnya, aku bahkan terkejut dia sakit."
"Begitukah?"
"Iya, tidak pernah ada yang menduga."
Yeonjun mengangguk praktis. "Mungkin ada sesuatu yang berusaha dia tutupi." Aku tertegun dan menelengkan wajahku ke samping agar dapat melihat Yeonjun. Ia tersenyum. "Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap."
"Apa maksudmu?"
Yeonjun pun bangkit. "Untuk beberapa hari ke depan mungkin aku tidak akan ada di sini lagi, Noona. Jaga dirimu. Jika ada kesempatan aku pasti menemuimu. Terima kasih." Ia membelah hujan begitu saja, meninggalkanku yang masih tercenung karena kalimatnya sebelumnya.
[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Detriment | yeonjun
Fanfic[Fantasy - Horror] Lee Myeongsoo berubah aneh sekembalinya dari Busan. Ketika Jieun berusaha membantu memulihkan Myeongsoo, ia justru dipertemukan dengan sosok bernama Choi Yeonjun. Segalanya justru terlihat jelas; Yeonjun mengetahui rahasia Myeongs...