chap 5

70 14 19
                                    

Chapter Lima

Beruntung, aku menemukan penginapan dekat RS tersebut. Tadinya, aku ingin sekali mengikuti Paman, mendesaknya dengan brutal hingga ia setidaknya memberikan penjelasan terlogis. Tapi, aku sadar, aku terlalu lemas. Efek hujan membuatku pusing dan tidak punya banyak energi untuk sekadar mengejar-ngejarnya apalagi lututku pun terasa hampir lepas dari tempatnya. Jadi, dengan sisa energi saja, aku keluar dari halaman tempat tersebut dan tersaruk-saruk untuk menemukan tempat istirahat tersebut.

Sang penjaga adalah gadis belia yang ramah, meminta rekannya untuk membawakan tas dan koper yang aku bawa. Sesampainya di kamar, dia pun menyalakan televisi dan pemanas ruangan untukku. "Kalau ada hal lain yang Anda butuhkan, jangan sungkan untuk menelpon bagian resepsionis kami. Ada di saluran telepon nomor 2."

"Baik, terima kasih."

Aku cepat merendam diriku dalam air hangat, dan mengenakan piyamaku. Hujan mulai menguyur di luar, aku bisa sadar dengan bunyinya meski terhalau suara televisi. Jadi, aku makin yakin untuk masuk dalam selimut. Jujur, aku masih ingat wajah rusah Yeonjun dan matanya yang berkaca-kaca.

Dia itu apa?

Apa yang terjadi di Busan?

Hal itu saja yang berputar keras di kepalaku sampai aku merasa berat untuk terlelap nyaman. Padahal, pemanas ini bekerja dengan baik dan selimut ini lembut serta harum. Seharusnya, aku bisa pulas mengingat perjalanan yang tidak sebentar untuk kemari pula.

*

*

Myeongsoo adalah orang yang sopan dan menghormati perempuan. Aku ingat pertemuan dengannya pertama kali, ketika ia tengah membantu seorang gadis untuk membagikan selembaran acara kampus kami. Aku juga ingat bagaimana dia membungkuk sopan kepada Ibuku yang waktu itu berkunjung. Aku juga ingat bagaimana dia enggan merangkulku bahkan takut ketika mencoba mengenggam tanganku. Kupikir, hampir mustahil menemukan laki-laki semacam itu di zaman sekarang. Apalagi, Myeongsoo pun bersikap sangat hangat kepadaku.

Pernah sekali dia mengantarkanku ke rumahku karena aku demam tinggi berhari-hari. Dia membawaku ke kamar tanpa berani menyentuhku lebih jauh, bahkan ketika melepaskan sweater-ku yang penuh keringat dan aku hanya mengenakan tank top tipis, Myeongsoo tidak terganggu sama sekali.

"Perempuan sepertimu, haruslah dijaga dengan baik. Tidak boleh sembarangan disentuh. Kau sangat berharga."

Aku tersipu, jelas. Aku merasa seperti ratu dari segala bidadari. Aku juga ingat senyuman yang dia persembahkan kepadaku adalah senyuman memuja dan penuh kasih. Itu pula yang membuatku yakin dengannya.

Ingatan tersebut yang membuatku yakin bahwa bersama Myeongsoo, aku akan selalu aman dan terjaga dengan baik. Di meja makan tersebut, aku menunggu pesanan makan malamku. Sengaja, aku pergi keluar karena hujan sudah reda dan aku akan segera ke rumah sakit setelah ini. Keadaanku membaik dan untung saja, aku sempat tidur tadi.

Aku menyantap lahap sepiring nasi goreng kimchi tersebut. Setelah selesai, aku bergegas untuk membayar dan berjalan menuju rumah sakit. Sejak sore, aku sudah menghubungi Paman Myeongsoo. Karena dia tidak kunjung menjawab telepon, aku pun mengirimkan beberapa pesan berisikan maaf karena aku mendadak datang, dan maaf karena mungkin ada perkataanku yang menyinggungnya.

"Paman!" Di ujung lorong yang mulai akrab tersebut, aku langsung berlari mendekatinya. Paman agak kaget sampai akhirnya, aku berhenti di hadapannya. "Kau tidak menjawab teleponku! Apakah ada yang terjadi?"

"Ckck, kau ini kenapa sih? Berhenti panik. Semuanya baik-baik saja, Myeonsoo masih dalam pengawasan. Kau pulang saja sana."

Aku menggeleng. "Apakah aku tidak bisa menemuinya?"

"Untuk apa? Ini sudah malam. Dia butuh tidur."

"Mengapa kau mempersulitku? Aku sudah datang kemari."

Paman balas menatapku tajam. "Dengar, tidak pernah ada yang memaksamu untuk datang kemari. Tidak ada yang memaksamu untuk tinggal di sini. Kau saja yang berlebihan!" bentaknya. Aku terkesiap. Aku pikir seiring waktu Paman akan melunak dan menyambutku. Apalagi seharusnya Myeongsoo pun bercerita soal hubungan kami yang sudah sangat serius. Tapi apa ini? "Sudah sana."

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Paman memalingkan wajahnya dan mengenakan jaketnya, memunggungiku.

"Aku bertanya kepadamu. Aku tidak akan datang lagi kalau itu yang kau harapkan tapi jawab; apa yang sebenarnya terjadi di tengah kalian? Apa yang terjadi di Busan? Mengapa aku melihat ..." Yeonjun. "Apa yang kalian tutupi?"

"Sudahlah. Kau sebaiknya pulang."

Aku menggeleng. "Aku tidak akan pulang sampai kau menjawab dengan jujur."

"Memang apa yang kau harapkan? Kami tidak melakukan banyak hal—tidak penting." Paman terus saja menghindariku dan berusaha sibuk dengan dirinya sendiri, entah membetulkan resleting jaketnya yang macet, mengecek ponselnya maupun berusaha memalingkan wajah padahal jelas-jelas aku berbicara di hadapannya.

"Aku yakin ada sesuatu," aku bergumam sendu. "Aku akan segera tahu. Cepat atau lambat."

*

*

Kupikir, Paman masih mencari sarapan di waktu sepagi itu. Aku yakin si tua itu tidak akan betah berlama-lama menunggu Myeongsoo. Jadi, aku sudah mengatur taktik untuk datang pagi-pagi buta kemudian mendesak suster yang ada dengan menjelaskan dengan sangat baik perihal aku bagian dari keluarga Myeongsoo. Dia agak ragu, kupikir, dia juga masih baru di sana. Langkahnya jadi enggan dan hati-hati mengantarkanku ke salah satu kamar tersebut. "Anda hanya punya waktu sepuluh menit."

"Terima kasih." Ia membiarkan aku meraih kenop pintu yang tidak terkunci tersebut. Ketika aku masuk, satu pria sudah memungunggiku, baju rumah sakitnya kebesaran dan itu longgar di bahunya yang mengecil.

"Myeongsoo-ah, ini aku."

Dia bergeming. Ketika aku sampai di tepian ranjangnya, karena dia enggan untuk berbalik, aku memberanikan diri untuk meraih bahunya. "Myeongsoo-ah. Jieun di sini ..."

"Aku tidak membunuhnya! Lepaskan aku! Paman yang membunuhnya! Bukan aku!" Ia meraung mulai menangis hingga si perawat pun bergegas masuk. Myeongsoo terus meronta-ronta. Wajahnya begitu lesu dengan kantung mata serta tatapan yang nanar. Dia menggeram di sela giginya dan aku hampir terhuyung jatuh.

"Myeongsoo—"

"Aku tidak membunuhnya!" Amarahnya meluap-luap bagai singa yang baru dibangunkan dari tempatnya istirahat.Aku merasa tercekik karena reaksi segamblang itu. Aku ditarik untuk keluar karena Myeongsoo sudah mengamuk lebih jelas bahkan hampir menerkamku di tempat.

"Nona, kau baik saja?"

Aku tidak membunuhnya. Aku tidak membunuhnya.

Apa yang ... terjadi?

*

*

"Kau ... kau sudah hilang akal? Aku sudah bilang kepadamu untuk tidak mendekati Myeongsoo! Kau pikir aku ini tidak serius denganmu ..."

Di tengah kecamuk itu, aku tetap meremas tanganku sendiri. Paman sudah mengajakku untuk berbicara dan sontak ia pun kaget karena aku yang begitu berani sampai sedekat itu dengan kekasihku. Aku bahkan tidak habis pikir dengan keadaan Myeongsoo. Kekasihku yang tampan dan gagah justru berubah menjadi pasien yang kesakitan dan buas.

"Hei!"

"Apa ..." Aku tidak kuasa mengangkat suaraku. Paman masih mengoceh kepadaku, sadar bahwa aku tidak memperhatikannya karena aku masih menunduk dan meremas-remas tanganku gelisah. Seharusnya, aku tahu. Seharusnya, aku tahu sejak awal. Dia berasal dari Busan, dia tidak terpengaruh karena hujan, dan dia muncul mendadak. Aku ingin mengelak semuanya tapi aku merasakan sendiri, aku bertemu sendiri secara langsung dengannya. "Tidak."

"Jieun-ssi! Apakah kau tuli?"

Aku merasakan air mataku sudah merembes begitu saja. Suaraku tersaruk dan terjepit sesak yang merajai pita suaraku. Ini tidak mungkin. "Apakah kalian ... yang membunuh Yeonjun?"

[]

Detriment | yeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang