CHAPTER ENAM
Paman terdiam. Bukan jenis diam di mana dia lelah kepadaku atau muak, tapi diam yang membuatku justru ingin mendesaknya dengan ribuan pertanyaan. Diam ganjil. Diam yang membuatku terus terhimpit rasa sesak dan kesedihan mendalam.
"Jawab aku!"
Paman membalikkan tubuh kemudian berjalan begitu saja. Aku terus menggapai tangannya namun dia menghempaskannya. "Aku tidak mau bicara jika kau sedang emosional." Aku tertegun kemudian menggapai tangannya lagi. Usaha itu berlangsung dalam beberapa menit hingga kami di luar rumah sakit dan dia mendorongku pelan. "Pulang sana. Urus saja kehidupanmu. Sebaiknya kau tidak banyak ikut campur."
"Dengar! Aku tidak akan berhenti ... aku akan tahu apa yang telah kau sembunyikan!" pekikku. Sedetik, aku berharap Paman akan balas berteriak namun dia meninggalkanku dengan mengibaskan tangannya. Aku mulai menangis tanpa bisa dicegah. Ketika aku mendongak, langit mulai terlihat mendung. Sejauh ini apa yang sudah aku dapatkan? Bahkan penjelasan sepatah dua patah kata pun tidak!
*
*
Suasana yang dingin menusuk beriringan dengan rintik hujan yang makin deras. Bulir-bulir hujan terus berjatuhan, berbentuk gemuk, dan tanpa ampun membuat jalanan banjit hingga aku terdiam di halte lagi. Aku tidak dapat menahan sesak di dadaku. Diamnya Paman itu justru mengundang lebih banyak asumsi. Meskipun aku kembali masuk, aku tahu, dia tetap akan mengusirku dengan telak. Dia keras kepala! Itu kesan yang tidak pernah salah. Bahkan dari pertemuan demi pertemuan kami, Paman tidak pernah terlihat hangat kecuali jika Myeongsoo yang mengajaknya untuk bicara dan tersenyum. Paman itu batu berjalan! Si tua mengesalkan!
Aku menghapus tangisku kasar. "Yeonjun? Kau tidak mau mampir?" tanyaku dengan sendu. Sejak kejadian di luar taksi itu, aku tahu bahwa Yeonjun berbeda. Ini mungkin kesimpulan yang diambil secara gegabah. Namun aku tahu, aku yakin betul bahwa dia bukan manusia. Semakin aku memikirkannya, aku semakin merasa gumpalan sesak makin menumpuk dalam dadaku. Dia meninggal dibunuh? Mayatnya dibuang sembarangan? Dia menuntut keadilan? Aku terkadang percaya akan hal-hal mistik seperti para jiwa yang masih berkeliaran selama beberapa rentang waktu demi menyelesaikan urusan dunia mereka yang belum usai, atau mereka akan terus gentayangan.
Aku benci jika itu kebenarannya. Soal Yeonjun.
Tanpa pikir panjang, aku pun membelah hujan karena aku yakin tidak akan ada bantuan meskipun hingga malam hari. Aku justru sangsi akan ada hal tidak terduga lain. Jadi, aku cepat-cepat berlari kembali ke penginapan, mandi air hangat dan menyisir rambutku yang basah. Ini tidak jauh berbeda ketika aku tinggal sendiri dekat kampus. Hanya saja, aku makin merasa kosong dan hampa.
Lantas apa? Selanjutnya apa?
Aku jatuh tertidur dengan air mata yang bergulir dari ujung mataku dan merasakan kengerian yang makin dalam.
*
*
Di hari itu aku pulang. Kembali ke flatku lagi. Kurasa, hari-hari berhujan selanjutnya hanya akan membawa lebih banyak kesedihan jadi aku putuskan, untuk kembali. Apalagi aku yakin kesempatan untuk bertemu Myeongsoo makin menipis. Kewarasanku pun makin di ambang batas mengkhawatirkan.
Tidak pernah, tidak pernah sekalipun Myeongsoo membuatku susah. Bukan sekarang dia membuatku susah, hanya saja, seharusnya dia menceritakan segalanya kepadaku kan? AKu benci teka-teki. Aku paling benci menjadi pihak terbodoh dan tidak berdaya. Rasanya, itu menghisap habis rasa kepercayaan diriku yang makin anjlok ini. Apalagi, kesedihan ini, kebingungan ini, rasa sakit di kepalaku rasanya bagaikan lintah yang terus menyedor habis rasa legaku.
Tiap kali aku teringat Myeongsoo-entah dari fotonya di ponselku, boneka hadiahnya, maupun beberapa tulisan dari surat yang kadang ia berikan kepadaku--aku makin merasa hancur.
Tidak ada tempat yang lebih baik daripada di rumah.
Aku berusaha meredakan gemuruh dalam dadaku yang kian tidak terkendali. Aku meyakinkan diriku dalam beberapa menit lantas mulai mengeluarkan laptopku, menunggu dalam diam, dan mulai membuka laman browser dengan gigih. Myeongsoo sempat mengataka kepadaku tempat ia menginap dan rencana kegiatannya selama beberapa hari di Busan. Mungkin, mungkin saja aku tidak dapatkan jawaban dari Paman ... aku bisa mendapatkannya dengan usahaku sendiri. Beruntung, aku bukan tipikal gadis yang senang membersihkan riwayat ruang obrol kami hingga aku masih bisa menggali serpihak informasi yang masih terpotong-potong tersebut.
Dan Choi Yeonjun.
Aku mulai mengetikkan nama pemuda tersebut dengan jari gemetaran dan hati yang tidak karuan. Aku berharap dia tidak akan muncul, setidaknya, aku ingin dia hanyalah dugaanku yang terlalu "ekstrem" bahwa dia tidak nyata. Mungkin dia bagian dari ketakutanku yang makin menggembung layaknya bola besar.
Busan Academy. Choi Yeonjun. 19 thn.
Dengan resah, aku menunggu satu laman tersebut menampilkan foto seseorang dalam balutan seragam. Gambarnya dimulai dari bawah dan muncul lamban. Entah karena sekolah mereka yang memang seterbuka itu hingga tidak sulit untuk mengangkes halaman siswa, namun aku pun merasa bersyukur tidak perlu sampai menghabiskan banyak waktuku karena malam ini, aku benar-benar akan menuntaskan semuanya.
'Kecelakaan beberapa murid Busan Academy. Middle Summer Party. 5 siswa dinyatakan tewas di lokasi.'
Aku mendapatkan alamat link video dari berita tersebut, mendapati dadaku makin berdebar seiring detik demi detik terus bergulir.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Detriment | yeonjun
Fanfiction[Fantasy - Horror] Lee Myeongsoo berubah aneh sekembalinya dari Busan. Ketika Jieun berusaha membantu memulihkan Myeongsoo, ia justru dipertemukan dengan sosok bernama Choi Yeonjun. Segalanya justru terlihat jelas; Yeonjun mengetahui rahasia Myeongs...