CHAPTER SEPULUH
Kebekuan itu membunuh.
Bora memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya seraya menggembungkan pipi. "Jadi, kau tidak setuju aku pergi dengan teman-temanku? Ayolah, sebagian dari mereka adalah anak klab tari juga, mengapa kau jadi seperti ini?" keluhnya. Tidak biasanya Yeonjun jadi super protektif hingga membatasi lingkup pertemanan Bora. Hanya saja, Yeonjun jadi lebih rewel beberapa hari belakangan.
"Tapi, masalahnya Noona kau akan pergi bersama mereka bahkan menginap bersama di hotel itu! Bagaimana jika terjadi sesuatu?" Yeonjun menahan ekspresi cemasnya. Beberapa waktu dia sudah menumpulkan otaknya, menulikan telinga bahkan membungkam saja. Hanya saat ini, Yeonjun terus terang, sudah kepayahan. "Apalagi, hanya kau yang perempuan."
Bora menghela napas. "Aku mengerti kau khawatir .."
"Kalau begitu, tidak usah pergi. Aku juga tidak akan ikut Middle Party karena sibuk di toko ayahku, jadi, kumohon. Sekali saja, Noona, kau dengarkan aku. Tidak perlu ke sana, okay?" Yeonjun sudah memasang wajah memelasnya. Jika ini gagal, Yeonjun tidak tahu apalagi yang dapat dia lakukan agar dapat meluluhkan hati perempuan ini. Yeonjun pikir, memang sulit untuk membatasi Bora. Apalagi sebelum mereka sedekat ini, kehidupan Bora memang penuh dengan laki-laki, Yeonjun tahu betul. Dia anak tunggal bersama ayahnya yang sibuk, ibunya sudah bercerai dari ayahnya ketika dia masih bayi. Dia tinggal bersama paman dan sepupu-sepupunya laki-laki. Di sekolah, di klab tari, semuanya mayoritas adalah laki-laki.
"Kalau aku tetap kukuh, apakah kau akan membenciku?" tanyanya pelan.
"Aku tidak akan membenci Noona tapi aku hanya tidak mau hidup dalam penyesalan," ujarnya sendu. Yeonjun menundukkan wajahnya, membuat Bora cepat mengenggam tangan Yeonjun erat. "Aku hanya khawatir, beberapa hari ini aku mendapatkan firasat buruk."
"Tapi, aku akan meneleponmu sesampainya di sana. Aku bahkan akan mengabarimu tiap dua jam, dan aku akan .."
Yeonjun langsung mendekap tubuh Bora, dan mengeratkan tangannya di sekitar bahu Bora. "Noona, kumohon."
*
*
Sejujurnya, ini bukan waktunya tepat untuk menampilkan wajah tidak setuju maupun kesal bahkan wajah penuh penolakan. Yeonjun sudah mendapatkan banyak cibiran dan ledekan yang dialamatkan terang-terangan kepadanya. Padahal antara mereka berdua, tidak pernah ada yang mengatakna mereka sudah resmi kekasih maupun Bora yang menyatakan bahwa Yeonjun tidak mengizinkannya pergi.
"Aku akan meneleponmu," gumam Bora kemudian meraih ransel besarnya. Beberapa temannya sudah memanggil, hanya saja, dia tahu setidaknya dia patut bertemu Yeonjun. "Dengar, akusudah katakan .."
"Hati-hati."
Bora tersenyum pedih dan mengangguk. "Dah." Sosok itu makin menjauh dan bergabung bersama beberapa rekannya yang sudah menyambut dengan tawa dan pekikan. Di mobil terbuka itu, ada beberapa peralatan musik untuk mereka manggung. Karena tidak hanya menginap, sempat ada yang menawari mereka untuk berkumpul menjadi band, kemudian ada pula acara menari. Bora sudah pernah mengajak Yeonjun bergabung, hanya saja, Yeonjun enggan untuk menyetujuinya. "Aku tetapi junior di mata mereka, akan sangat canggung dan asing jika aku bergabung sekarang. Terima kasih, Noona."
Selepas perginya Bora, Yeonjun pun berbalik kembali menuju jalanan luas. Dia memandang turun beberapa kerikil dengan muram, sedangkan tangannya masih mengepal. Sebenarnya, apa hubungan kami? Bagaimana aku bisa jadi seperti ini? Yeonjun mengatupkan rahangnya. Memang sejak awal dia sudah sadar bahwa dia dan Bora jauh berbeda. Dia dan Bora tidak mungkin—secara konyol—menjadi kekasih. Yeonjun sendiri bukan apa-apa di kalangan teman-teman Bora yang notabene jauh di atasnya dan menganggapnya hanya anak baru yang punya bakat.
Beberapa menit berlalu dengan langkah hampa, akhirnya, Yeonjun merasakan sakunya bergetar. Ada pesan yang baru saja masuk dan menarik perhatiannya hingga berhenti. Dari Bora Noona.
"Aku menginap di Long Coastal Hotel, Yeonjun-ah. Mampirlah, datang saja langsung. Berhenti khawatir:) Sampai bertemu nanti."
*
*
Mungkin meminta langsung kepada resepsionis hotel akan sangat merepotkan. Mereka bukan hanya tidak akan memberikan informasi yang sensitif itu, tapi juga akan membuat aku jadi dicurigai. Sehingga, aku tidak dapat menahan diri; aku hanya ingin memastikan bahwa Myeongsoo tidak terlibat. Memang rasanya agak sinting jika aku mengaitkan peristiwa itu dengan Myeongsoo. Karena satu fakta bahwa Myeongsoo pun pernah menginap di hotel ini. Hanya saja, aku sudah lama terjebak dalam asumsiku dan aku perlu mematahkannya sekarang. Myengsoo tidak menginap di sini di hari itu dan dia bersih dari apapun yang berkaitan dengan asumsi busukku ini.
Untung saja, aku pernah diberitahu soal alamat surel serta kata sandi milik Myeongsoo. Sebagai kekasih yang dahulu sangat polos dan patuh, aku pikir, untuk apa memberikan hal-hal seperti itu? Toh aku juga tidak mau peduli dan cukup sibuk dengan kuliahku. Sekarang, aku bersyukur karena mungkin saja ada pemberitahuan bahkan invoice untuk pembayaran hotel di Busan. Paman Myeongsoo adalah orang kaku dan praktis, dan untuk kesopanan pula, pasti Myeongsoo yang mengurus dan membayar semuanya.
Dengan hati berdebar sekaligus kalut, aku mulai menelusuri ponselku sesuai mengklik kotak masuk surel itu. Ada banyak pemberitahuan yang masuk, ada juga banyak transaksi, aku berusaha memilahnya cepat sampai aku tiba di satu pesan yang masuk di sana.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Detriment | yeonjun
Fanfiction[Fantasy - Horror] Lee Myeongsoo berubah aneh sekembalinya dari Busan. Ketika Jieun berusaha membantu memulihkan Myeongsoo, ia justru dipertemukan dengan sosok bernama Choi Yeonjun. Segalanya justru terlihat jelas; Yeonjun mengetahui rahasia Myeongs...