Masih belum musim dingin tapi udara sangat tak bersahabat. Bahkan dengan tiga lapis baju hangat Jiyong masih menggigil, ujung hidungnya memerah.
"Who are you? Rudolf?"
Tak menanggapi candaan Jaehyun, dia segera duduk dan menyalakan pemanas mobil dengan maksimal. Dia sinting atau apa sih dulu? Kenapa mau jadi psikiater? Gak sadar apa harus kuliah kedokteran dulu? Gak sadar ya silabusnya setebal Oxford English Dictionary? Sinting.. sinting.. sinting..
"Kenapa? Baru nyesel sekarang kuliah kedokteran?"
"Gak usah sombong deh yang udah punya double degree.." Menutup matanya, Jiyong masih memikirkan pilihannya dua tahun lalu. Dia beneran gila apa gimana sih?
Emang dasar nih Dokter Doyoung sialan. Kalau bukan karena dia mana tertarik sih dia ke bidang medis begini.
"Kamu tuh gak bakal kuat ambil spesialis dalam, mending jadi psikiater aja sih. Setelah kedokteran kamu ambil spesialis jiwa aja sana."
Kalimat itu masih terngiang di kepalanya.
"Ugh! Kak Doyoung sialan!" Bentaknya membuat Jaehyun menoleh.
Gadis itu masih gak sadar dengan sorot mata Jaehyun. Pria yang dua tahun lebih tua darinya itu mencengkeram setir terlalu erat.
Kenapa saat bersamanya Jiyong harus mengucapkan nama lelaki lain sih? Apa masih belum jelas selama ini Jaehyun menunjukkan perasaannya? Memang ada wanita lain yang dia lirik selain adik sang bos?
Apa dia harus pakai cara terakhir?
"Pertunangan!" Pekikan dramatis itu tak membuat Taeyong ataupun Jaehyun menghentikan makan malam mereka. Hanya tatapan tajam memperingatkan dari Doyoung.
"Bang! Abang kenapa sih? Kok mendadak? Ini apaan? Sama siapa? Ya Tuhan aku pernah dosa apa sih sama Abang?"
Taeyong meminum wine miliknya, "Dengan Jaehyun. Kalian toh selalu bareng kan."
Mengerjakan beberapa kali, Jiyong gak bisa buka mulut lagi. Gak mungkin kan dia nolak Jaehyun didepan orangnya. Dia gak sesadis itu juga kali.
"Bang, kita ngobrol berdua du-"
"Gak usah bantah, Ji. Jaehyun juga udah terima kok."
***
Jiyong terbangun dari tidur yang tak ingat dia masuki. Air mata menggenang disudut matanya.
Berusaha menghapus air matanya, dia terkejut melihat sekitarnya.
Ketika basemen sangat gaduh dan gelap, tempat ini justru sangat sepi dan bersih. Keempat dindingnya berwarna putih. Tak ada pajangan apapun disekitarnya. Hanya ada furniture seadanya. Kasur yang dia tiduri sekarang dan lemari kecil disampingnya.
"Butuh waktu untuk aku mengerti, tapi sungguh aku akhirnya mengerti."
Suara itu membuat Jiyong menoleh. Penyiksanya yang paling dia benci ada disana. Tak memakai kaos dan tengah meminum alkohol. Dia terlihat lebih santai daripada di ruang penyiksaan yang dulu.
"Aku gak pernah main-main, Nona Jiyong." Jungwoo duduk disampingnya, memeriksa borgol yang mengikatnya di kepala kasur. Menghapus sisa air mata Jiyong dengan jarinya, menjilat jari itu lalu tersenyum. "Memang salahku sih yang menganggap kamu lemah hanya karena selalu ada dibawah pengawalan."
Tangannya menyentuh luka sayatan di bagian leher Jiyong.
Gadis itu berusaha tak terintimidasi tapi dia mengingat pakaian yang dia pakai. Atau tepatnya kurangnya pakaian yang dia pakai.
"Kamu selalu bicara tentang martabat Lee. Aku seharusnya tahu kelemahan kamu." Jarak wajah keduanya sangat dekat. Ji pusing dengan aroma alkohol yang tercium. "You told me to do my worst right? Let me show you my beast."
Belum sempat Ji membalas monolog Jungwoo, lelaki itu menyerang bibir Jiyong.
MENYERANG.
Iya, dia mencium bibir Jiyong brutal. Membuat gadis itu berusaha menendang pria itu tapi ditahan tangan kiri Jungwoo.
Merasakan kepanikan diri Ji, Jungwoo tersenyum tipis. Sekarang dia mengurung Ji dibawahnya, tangan kanannya meremas kasar payudara Ji hingga cewek itu menjerit dalam mulutnya. Memberikan akses bagi lidah Jungwoo untuk masuk dan menjelajahi mulut Jiyong.
Gadis itu panik. Ketakutan. Marah. Semua emosinya campur aduk. Dia bisa melewati sayatan pisau, setruman listrik, dan cekokan air. Tapi ini..
Dia gak tahu Kim lebih hina dari yang dia bayangkan.
Jungwoo berhenti, membiarkan Jiyong untuk bernafas. Dada gadis itu turun naik tak beraturan, dan dimata Jungwoo cewek itu terlihat seksi saat ini.
"It have to go."
Lelaki itu mencari benda dari lemari kecil disampingnya dan menemukan gunting. Mata Ji membulat, takut dengan tebakannya.
"No! No! No! Let go of me you bastard!"
Tapi pria itu gak berhenti setelah menyingkirkan bra Jiyong, dia menggunting juga celana dalam Ji dan melemparkannya bersama bra itu asal.
Dan saat ini gak mungkin Ji gak berteriak. Tangannya perih karena borgol yang terus dia tarik, kakinya lemas dihalangi tubuh Jungwoo dan mulutnya diserang Jungwoo lagi.
Ji menangis, dia gak sanggup. Dia gak bisa jadi kuat. Ini terlalu menakutkan. Dimana Taeyong? Dimana Jaehyun? Apa wilayah kekuasaan benar-benar lebih penting dari nyawa Ji?
Kalau begitu biarkan dia mati. Dia gak bisa hidup begini.
"Psst.. jangan nangis oke. Kamu boleh teriak nama aku, tapi kamu gak boleh nangis." Jungwoo menghapus air mata Ji. "Your lips taste like strawberry. Now let's me taste the real you."
"Please.. no! No!"
Kulit tangannya sudah berdarah saking kuatnya Ji menancapkan kuku. Tangisannya semakin kencang saat lidah Jungwoo kini berpindah ke vaginanya. Menjilat bagian luar lalu menjelajahi bagian paling inti dari diri Ji.
"Please.. Stop. Please.."
Tak terhitung berapa banyak Ji memohon untuk Jungwoo berhenti tapi lelaki itu tak juga berhenti. Tidak sampai Ji tahu dia mendapatkan orgasme pertamanya.
Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan, "You taste sweeter than I ever imagine." Dan kembali melanjutkan aktivitasnya, membuat Jiyong menjerit sejadi-jadinya.
"Wow, he really did it." Mark terbelalak, setengah tak percaya dengan jeritan Jiyong.
"It's our Bang Jungwoo after all." Balas Lucas dengan seringaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
WICKED
FanfictionNCT FANFICTION [OC x Kim Jungwoo] Lee Ji-yong terlalu naif berpikir jarak mampu menghentikan pembalasan atas dosa-dosa keluarganya.