Prolog

5.3K 165 4
                                    

Prolog

Tania tersenyum membaca isi pesan di grup chat miliknya dan sahabat-sahabatnya. Mata indahnya sempat berbinar saat salah satu temannya menawarkan liburan di dalam negeri dengan beberapa destinasi yang memang ingin Tania kunjungi. Tentu saja sebagai wanita yang sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun, Tania ingin menyetujuinya. Namun Tania juga tidak mungkin pergi begitu saja tanpa seizin mama dan papanya. Kedua orang tuanya itu begitu cerewet bila sudah mengenai di mana dan dengan siapa ia akan berkelana.

Semua itu wajar untuk Tania, atau bahkan sudah terbiasa. Karena dari tiga bersaudara, ia yang paling muda dan perempuan satu-satunya. Kakak pertama dan keduanya semuanya laki-laki, semua sudah memiliki pasangan dan bahkan yang pertama sudah memiliki anak. Hanya Tania sendiri yang belum atau bahkan tidak ingin berkomitmen, membuat orang tuanya merasa resah dengan kesendirian putrinya. Mereka sudah cukup tua untuk mengawasi, ada kalanya mereka ingin putri satu-satunya mereka mencari pendamping hidup untuk menjaga dan melindungi.

Tania sendiri memiliki butik pakaian dan kosmetik. Ia bukan tipe wanita yang suka pekerjaan kantor terlebih lagi mengurusi perusahaan papanya. Semua usaha orang tuanya hampir tidak ada yang menarik minatnya untuk terjun ke dunia yang sama, hanya kakak-kakaknya yang mengurusi semuanya setelah papa mereka memutuskan untuk pensiun kerja.

Setelah mengetik pesan ke chat grupnya, Tania menghela nafas panjang. Pekerjaannya memang tak terlalu berat, namun semua seolah dikendalikan keluarganya termasuk hidupnya. Bila ingin liburan pun, Tania harus meminta izin dulu, itu artinya ada dua kemungkinan jawaban orang tuanya antara iya atau tidak. Tania tak akan selesuh ini andai orang tuanya tak mudah mengkhawatirkannya, namun sayangnya mereka adalah tipe orang tua yang mudah kepikiran.

Memikirkan itu saja sudah membuat Tania pesimis bila keinginannya untuk liburan pasti tidak akan diperbolehkan.

Tak ingin terus memikirkannya, Tania kembali berjalan masuk ke dalam rumahnya yang sepertinya tak lagi sepi seperti biasanya. Kedua kakaknya yang menyebalkan itu ada di ruang tamu, bersama dengan mama dan papanya. Tumben, kata itu seketika tercetak di pikiran Tania yang terbiasa melihat rumahnya yang sepi, yang jarang kakak-kakaknya singgahi.

Dengan tenang, Tania berjalan sembari memasang senyuman ke arah orang tuanya lalu menyalaminya tanpa mau melakukan hal yang sama dengan kedua kakak-kakaknya.

"Kok baru pulang? Ini kan sudah malam, Tan." Suara Tristan kini terdengar tak suka ke arah adiknya yang baru pulang. Sebagai kakak pertama, Tristan paling tidak suka melihat adiknya keluyuran tidak jelas, terlebih lagi adiknya itu perempuan.

"Tadi makan dulu sama Dea dan Vina." Tania mendudukkan tubuhnya tanpa mau menatap ke arah kakaknya yang paling sok mengatur menurutnya.

"Sudahlah, Kak. Namanya juga anak kecil, belum ngerti mana malem dan mana siang. Kerajaannya cari kesenangan sendiri." Kini suara Titan yang terdengar kian menyebalkan di telinga Tania, kakak keduanya yang dingin dan ketus.

"Apa sih, Kak? Enggak usah sok nyindir deh. Dan lagi kenapa kalian ke sini? Tumben banget." Tania menyilang kan kedua tangannya di depan dadanya, menatap ke arah lain dengan ekspresi tak sukanya.

"Kamu ini dibilangin malah sewot. Kamu ini wanita, Tan. Enggak seharusnya kamu pulang malam." Tristan menyahut tak suka, namun Tania justru tak merasa bersalah.

"Malam apa sih, Kak? Ini baru aja jam sembilan kok." Tania menjawab tak habis pikir, membuat orang tuanya merasa lelah dengan pertengkaran putra dan putrinya yang hampir terjadi kalau sudah bertemu seperti saat ini.

"Sudah, jangan bertengkar lagi." Suara Herman kini terdengar lelah, sebagai seorang Papa, ia tidak ingin melihat anak-anaknya bertengkar begitupun dengan istrinya, Rina.

My Servant is mineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang