13

319 84 12
                                    

Shin Hye terbatuk untuk mengabarkan kehadirannya. Pria itu sontak menoleh.
"Kapten, belum tidur?" tanyanya selanjutnya.
"Prajurit Park. Nde, belum. Ini bukan jam tidurku."
"Mh... Boleh aku bergabung?" lanjut Shin Hye hati-hati.
"Nde, silakan."
"Kamsahamnidha." Shin Hye menduduki batang pohon besar yang sengaja dionggokan di sana.
"Kau juga belum tidur, padahal kulihat tenda-tenda sudah senyap." komentar Kapten.
"Nde, aku sulit memejamkan mata."
"Apa kau takut karena besok kita akan menuju medan perang?" tatap Kapten.
"Nde, aku sangat takut. Ini pertama kalinya aku pergi bertempur, Kapten. Apa lawan kita sangat tangguh?"
"Iya, kurasa begitu. Bangsa Han itu memiliki mental militan yang tiada tandingannya. Mereka sudah sejak lama menginginkan kerajaan kita, dan keinginan itu tidak pernah pupus di hati mereka hingga kini. Sejak mereka hanya merupakan kelompok kecil, hingga bangsa Tiongkok menjadi aliansinya. Itu semua berkat keuletan dan mental baja mereka." papar Kapten.
"Lalu... Apa kita akan kalah menghadapi mereka?" tanya Shin Hye getir.
"Tidak akan mudah mereka mematahkan pertahanan kita. Prajurit kita adalah angkatan perang yang sangat tangguh. Namun jumlah  mereka lebih banyak. Tugas kita nanti membackup di barisan belakang, jadi jangan terlalu khawatir." Kapten membesarkan hati prajuritnya itu. Terdengar Shin Hye menghela napas dalam.

"Nanti aku ingin, kau dan timmu melindungi prajurit lain. Kalian ber-6 harus berada pada posisi yang dapat melindungi teman-teman yang lain. Jika mungkin jangan biarkan musuh mendekat, sebelum mereka dekat tugas kalian menghentikan langkahnya dengan kemampuan membidik dari jarak jauh." lagi Kapten memberi wejangan.
"Rupanya untuk itu tujuan Kapten membentuk tim penembak jitu...?" Shin Hye takjub.
"Nde, tugas kalian menjadi yang paling berat nanti."
"Dan kami siapa yang melindungi?" tatap Shin Hye.
"Tentu saja aku sebagai pimpinan pasukan. Tugasku menjaga keselamatan seluruh anggota?" tandas Kapten.
Shin Hye terdiam. Hal itu tampaknya yang menggelisahkan kapten. Memastikan seluruh pasukannya selamat. Supaya tidak membuat anggotanya gentar, dia mengatakan prajurit jangan khawatir. Namun jauh di lubuk hatinya sesungguhnya dia teramat khawatir.

"Kau, kulihat sangat menonjol diantara semua, Prajurit Park. Padahal postur tubuhmu paling kecil. Kau seperti siap menjadi seorang prajurit, apa ada alasan untuk semua ketangkasanmu itu?" Kapten menyampaikan rasa penasarannya yang tinggi.
"Mungkin karena ayahku mantan prajurit perang juga, Kapten. Saat aku kecil hingga remaja, kisah-kisah heroik tentang perjuangan melawan penjajah sering kudengar dari ayahku. Mungkin hal itu yang membuatku siap dengan pelatihan militer ini." aku Shin Hye.
"Begitu rupanya. Pantaslah! Andai aku punya 10 prajurit sepertimu, saat ini mungkin aku tidak akan terlalu khawatir."
"Benarkan Anda sangat mengkhawatirkan kami, Kapten?" ringis Shin Hye merasa tebakannya tepat.
"Kau tahu, seorang komandan itu seperti orang tua. Akan selalu merasa khawatir terhadap anak-anaknya. Sehebat apa dan setua apa pun anak-anaknya. Aku karena diperintahkan Paduka Raja untuk menjadi komandan dalam pelatihan ini, kalian seperti anak-anakku. Jadi tetap khawatir walau mereka mungkin tidak sehebat yang kita kira." Kapten berkilah untuk menyembunyikan rasa gelisahnya itu. Sebab bila dirinya saja sudah khawatir, mereka mungkin akan down. Padahal semangat mereka sangat dibutuhkan untuk memasuki medan laga.

"Kalau boleh kutahu, seperti apa keluargamu? Apa pekerjaan ayahmu sekarang setelah pensiun jadi prajurit perang?" kapten berusaha membelokan obrolan.
"Ayahku membeli sebuah toko untuk menopang kehidupan kami setelah berhenti jadi prajurit. Tapi bukan beliau yang menungguinya, kami menggaji seseorang untuk menungguinya."
"Pekerjaanmu sendiri apa?" kapten makin tertarik.
"Aku seorang guru, aku mengajarkan anak-anak cara menulis dan membaca."
"Jadi kau seorang guru? Pekerjaan yang mulia."
"Nde."
"Kau punya saudara?"
"Seorang adik perempuan, dia masih sekolah sekarang."
"Keluarga yang kau miliki pasti keluarga yang hangat dan harmonis."
"Nde."
"Itu sebabnya kau harus kembali kepada ayah ibumu sehabis perang nanti."
"Tentu saja aku akan kembali."
"Eoh." angguk kapten setuju.

Hening beberapa jenak, sampai suara kapten lagi yang terdengar.
"Bila aku katakan kalian tidak boleh terluka, sama artinya dengan aku melarang kalian untuk pergi berperang. Tapi aku sungguh tidak mau mendengar kalian terluka, jadi selalu waspadalah!" Kapten memberikan nasehat terpentingnya.
Shin Hye tidak bicara. Di dalam sebuah pertempuran mustahil bila tidak ada yang terluka, bertengkar antar desa saja orang sangat bisa terluka. Lebih jauh Shin Hye memaknai nasehat itu, kapten mengkhawatirkan keselamatan pasukan bentukannya itu. Bila dengan bahasa yang lebih vulgar, kapten mengatakan : kalian jangan sampai ada yang mati! Itu artinya pasukan lawan sangat kuat.

"Berapa lama kira-kira perjalanan kita ke selatan, Kapten?" Shin Hye bertanya lagi.
"2 sampai 3 hari bila kita tidak menghabiskan banyak waktu untuk beristirahat di jalan."
"Cukup jauh."
"Eoh."
"Baiklah, aku siap untuk pergi ke medan perang, Kapten!" senyum Shin Hye. "Aku pastikan musuh tidak akan mendekati pasukan kita. Aku akan habisi mereka sebelum sempat mendekat." janji Shin Hye dengan pancaran semangat menggelora dalam darahnya.
"Joa! Aku suka mendengarnya, Prajurit Park. Dan besok kita akan mengawali perjalanan menuju medan perang."
"Nde, aguesmidha!" pekik Shin Hye sambil berdiri. "Kalau begitu aku mohon diri, Kapten. Aku akan segera beristirahat."
"Eoh, pergilah! Tidurlah yang nyenyak malam ini, Prajurit Park!"
"Ya, selamat malam Kapten." Shin Hye membungkuk kemudian berlalu menuju tendanya.
Terlihat kapten menghela napas dalam sepeninggal Shin Hye. Benar sekali, prajurit Tiongkok sungguh lawan yang sangat berat. Belum pula jumlahnya mungkin 2 atau 3 kali lipat dari jumlah mereka. Tapi semoga dewi keberuntungan memayunginya, sehingga tidak peduli seberapa kuatnya musuh, mereka akan berada dalam kemenangan.

Pagi saat matahari masih di punggung gunung mereka sudah bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Semuanya berbaris rapi dengan menaiki kuda. Persis saat matahari muncul dari punggung gunung mereka mulai melangkah setelah mendengarkan pengarahan dari kapten. Kapten sendiri melangkah paling depan menunggangi kudanya dengan pakaian kebesaran seorang petinggi militer. Dia tampak sangat gagah. Di belakangnya 2 orang komandan regu mengawal di kiri dan kanan. Sedang 2 orang yang lain masing-masing berada di tengah dan barisan paling belakang. 6 orang yang merupakan tim penembak jitu tersebar di tengah dan belakang barisan. Ada juga kuda yang mengangkut gerobak berisi perbekalan, beberapa orang prajurit mengawalnya.

Shin Hye sendiri berada di tengah barisan. Tidak jauh dari Kwang Hee. Sambil mata tak lepas memperhatikan seluruh anggota. Ia sangat memperhatikan pesan kapten untuk melindungi pasukan.
"Kau harus selalu di dekatku supaya dapat melindungiku, Shin Yang-ah." pinta Kwang Hee sangat ketakutan Shin Hye meninggalkannya.
"Bukan hanya kau yang harus kulindungi, tapi semua prajurit." sahut Shin Hye.
"Terutama aku, eoh?"
"Kalau maumu begitu berarti kau harus selalu menempeliku."
"Nde, akan kulakukan. Aku akan terus menempelimu." Kwang Hee menyanggupi.
"Selain menempeliku kau pun harus mendengarkan aku! Mungkin aku akan menyuruhmu sembunyi atau menjauhiku bila situasinya membahayakanmu."
"Nde, aguesmidha."

Kwang Hee sangat patuh, sedikit pun tidak membantah dengan keputusan Shin Hye. Karena situasinya sangat menakutkan buatnya. Dia sadar dirinya tidak akan bisa bertempur tanpa Shin Hye melindunginya. Dan hanya berani meminta kepada Shin Hye, walau ada banyak orang. Bahkan ada komandan regu. Karena medan perang yang tengah mereka tuju, selama perjalanan itu mereka semua hanya diam. Yang terdengar hanya derap kaki kuda dan sekali-kali ringkikannya. Atau juga sekali-kali~namun jarang sekali yaitu teriakan komandan regu memberitahukan sesuatu. Seperti bila harus berbelok atau menemukan jalan menurun atau menanjak. Perjalanan itu mereka lewati masih dengan energi yang utuh, sehingga matahari nyaris di atas kepala mereka masih saja berlari. Tapi ketika menemukan lapangan berumput kapten menyerukan supaya mereka berhenti sejenak guna beristirahat dan memberi makan kuda.

TBC

The Beautiful WarriorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang