Ada gereja tua di daerah tak berpenghuni. Ah, tidak. Achio menggeleng cepat. Memang tak ada orang, tapi banyak bangunan berusia tua di sana, seperti menemani masa hidup sebuah gereja kuno hingga tibalah rubuh. Lihat saja dedaunan rambatnya, hampir mau menutupi wujudnya.
Namun, raut wajah Achio tetap sepolos dulu. Dengan mata bulat yang sayu dan bibir kecil terkatup rapat. Kaki jenjangnya mulai melewati permukaan tanah yang tersiram matahari. Puluhan kupu-kupu seakan menemui orang penting, lekas menyingkir memberi jalan. Angin mulai bersiul merdu menyertai gemeresak gesekan daun, juga mengiringi tatapan Achio dalam mengamati sekitar.
"Bunganya indah, ya!"
Iris biru Achio menciut amat cepat. Percikan samar muncul di balik matanya bahkan ketika melirik ke sumber suara. Ia tak bisa melihat wajah pemilik suara itu. Namun, Achio sempat lihat gaunnya. Emas dan putih, sama macam wanita dalam mimpi.
"Tunggu apa lagi?" Ada lagi. Achio langsung menoleh. Entah sejak kapan pemandangan daerah terbengkalai ini berubah jadi penuh bunga dan ramai penduduk. Kelopak bunga beterbangan liar walau angin tak sering meniupnya. Yang terpenting, Achio masih kesulitan lihat muka wanita tersebut.
"Kita harus berdoa dulu, Ronto!"
Oh, ini suara lain. Terlalu asing di ingatan Achio. Ke mana asalnya? Ia celingukan cari batang hidungnya. Tunggu, suara tadi menggambarkan sosok seperti apa?
"Ronto!" Suara yang lembut dan penuh keramahan! Dia pasti perempuan baik hati. Senyum lebar merekah di wajah Achio, berbalik ke arah gereja dengan antusias. Ada wanita berpakaian terusan serba hitam tengah berdiri di depan pintu. Sejenak dia tersenyum lembut kemudian berkata, "Ayo, yang lain sudah menunggu demi bisa rayakan festival bunga."
Gumaman penuh antusias dari Ronto merebut perhatian Achio. Bukan sosok manusia, melainkan kupu-kupu biru yang cahayanya makin terang saja tengah pergi menuju gereja tua. Wanita berpakaian hitam itu pun lenyap dari pandangannya. Insting Achio bilang, ikuti serangga tersebut. Ada aroma bunga sebagai jejak kupu-kupu, sangat memikat hati. Ia pergi ke sana. Semakin dekat dengan gereja, semakin kuat wangi jejaknya.
"Wangimu memikat, Ronto." Suara tersebut muncul tepat Achio menghadap pintu usang. Serangga cantik itu hinggap di pegangannya yang berkarat. Dia tak sedikitpun merasa terusik dengan kehadiran Achio. Jadi, haruskah ia menyentuhnya? Mungkin itu bukan ide buruk. Perlahan, tangan Achio terulur. Cukup menyentuh ujung sayapnya saja. Hanya sayapnya....
"Kau pendatang baru?"
Achio langsung tersentak bersamaan kupu-kupunya terbang lagi. Begitu berbalik, sudah ada perempuan berkerudung hitam, selaras dengan baju terusannya, berdiri tak jauh dari gereja. Di balik kain warna hitam, terselip baju dan penutup kepala dalaman warna putih. Kalung salib menghiasi lehernya. Wanita itu ... mirip dengan sosok yang Achio lihat beberapa menit lalu.
"Apa kau tersesat?" Dia mendekat menaiki undakan tangga, sesekali membenarkan keranjang berisi sayuran yang didekap. "Aku bisa mengantarmu pulang."
Seketika Achio beringsut menyingkir ketakutan. Bayangan Cera yang ingin membunuhnya seolah mengintimidasi. Ia tak mau kembali, tapi ia teringat bagaimana Cera tersenyum bahagia. Tidak, Achio enggan balik ke sana. Tangannya lekas mengepal.
"Begitu, ya." Wanita itu bukakan pintu, menimbulkan derit pertanda berapa tua bangunan ini. "Namaku Ste."
Spontan Achio menelengkan kepala sambil mengerjap polos. Ia tak menanyakan nama wanita itu, atau namanya. Wanita itu hanya mau Achio tahu namanya. Ia terus saksikan Ste masuk hingga berdiri di ambang pintu.
"Masuklah." Ste melirik pamerkan senyum tipis yang ramah. "Sebentar lagi hujan."
Dan hujan pun turun amat deras. Achio kagum dengan pengetahuan Ste terhadap cuaca. Dia berkata demikian, hal tersebut terjadi begitu saja. Lantas Achio tersenyum lebar dan mengangguk antusias, membuat Ste tertawa kecil.
"Kau anak yang ceria, ya."
****
Hari demi hari berganti. Dari seringnya hujan turun menjadi kemarau yang panjang. Achio terus berada di gereja kuno. Hal yang ia lakukan selama Ste pergi hanya menggambar di atas tanah gersang walau hasilnya abstrak, atau duduk berjam-jam di undakan untuk menunggu kepulangan Ste.
Sangat bertolak belakang bila Ste ada di sampingnya. Ketika makan, Achio diberi banyak makanan lezat dan mengenyangkan. Ketika Achio sedang tak lakukan apa-apa, Ste mengajaknya bermain di dalam gereja. Tawa mereka menggema di sini. Bahkan ketika Achio mau tidur, Ste bakal bacakan dongeng dan lullaby untuknya.
Sayang....
Tidurlah yang lelap.
Bulan akan menemuimu dengan ramah.
Bulan akan menyinarimu.
Tidurlah cepat....
Bila ada cahaya yang lebih terang dari pada bulan.
Apakah matahari?
Bulan berteman baik dengannya.
Sayang....
Tidurlah yang lelap.Sejenak alam sadar Achio yang tersisa setengah merasa aneh dengan liriknya. Tak sesuai dengan nada lagu yang Ste senandungkan. Namun, ia tetap tidur juga.
Sekarang, Achio hanya duduk termenung di undakan, tak memikirkan apa-apa selain melihat Ste sedang jemur pakaian. Baju miliknya kotor, jadi Ste memberi baju terusan putih dengan kerah menutupi sebagian leher. Rambutnya diikat ponytail, tapi Ste sengaja menyisakan beberapa helai yang ikal. Achio tampak makin cantik bila tampilannya seperti itu, begitu katanya.
"Nanti siang kau mau makan apa?" Ste berbalik sambil bawa ember kosong. Angin bertiup lembut menyibak ujung kerudung dan baju Ste. Ketika dia tersenyum, seketika Achio teringat Cera. Wanita itu cukup mirip dengan sosok berambut perak, terlebih bila suasana hatinya bahagia. Andai Ste adalah Cera, dia pasti akan bilang:
"Aku bisa masak makanan kesukaanmu kalau kau mau, Achio."
Achio langsung melotot tak percaya. Apa ini suatu kebetulan? Tidak, ini tidak mungkin, atau mungkin terjadi. Tetapi, kata demi kata yang Ste ucapkan benar-benar mirip dengan ucapan Cera beberapa hari lalu. Achio jadi ingin bertemu Cera, meski hanya sekali seumur hidup.
"Untuk sementara, aku masak makanan yang sering kita makan dulu," katanya sebelum masuk gereja. "Beritahu aku bila kau ingin sesuatu."
"Achio mau ketemu Cera." Achio lekas berdiri mengamati Ste yang semakin jauh.
"Baiklah, jangan jauh-jauh." Lepas itu, dia lenyap dari pandangan Achio. Inilah saatnya. Ia lari secepat mungkin, menjauh dari daerah tersebut. Kakinya kembali menapak kesegaran rumput dan gemeresak dedaunan. Achio merasakan aroma khas pepohonan lagi. Jarak menuju pemukiman ramai penduduk semakin dekat. Hatinya kian berbunga-bunga bila mengingat Cera.
Cera yang tersenyum manis. Cera yang memperlakukannya dengan lembut. Cera yang hanya menampakkan sisi mengerikannya di belakang Achio. Achio ingin segera menemui-
"Kya!" Achio menjerit dan jatuh dengan muka lebih dulu menyentuh tanah. Sebelah kaki Achio berdenyut nyeri, lantas melirik asal ia bisa tersandung. Ada akar pohon yang mencuat. Pantas Achio kesakitan. Namun, Achio tak punya waktu untuk meringis.
Ia susah payah bangkit, lalu jalan tertatih-tatih. Tepat Achio lirik kanan-kiri, kupu-kupu biru hadir kembali di hadapannya. Berapa senang bukan main, Achio mengulurkan tangan pada serangga itu. Dia memang hinggap di jemarinya, tapi mendadak pecah menjadi serpihan.
Kemudian, jeritan seseorang terdengar sampai ke tempat Achio berdiri. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Achio: The Legend of Seven Paradise
FantasySang pendongeng di luar sana pernah menceritakan legenda tujuh surga, tujuh tempat yang memiliki satu benda sakral untuk menghancurkan tujuh kutukan autis dan memberi kekuatan serta menjadikannya sebagai raja di atas penguasa tujuh surga bagi yang m...