Sekali sabetan dari tombak milik Anky. Sekali cipratan dari sepakan ekor duyung Aquilla. Makin banyak luka yang mereka dapat, sedangkan Achio hanya berdiri menjaga keseimbangan dan menghindari percikan lahar panas. Gempa telah berhenti bergemuruh, itu membuka peluang agar Anky bebas bergerak ke manapun.
"Ayolah, Anky," kata Aquilla dengan parau. Dia terus menyelam dan muncul secara acak di titik buta Anky. Senjatanya berupa pecut besi panas terus mencambuk badan Anky yang hampir seluruh tubuhnya berdarah. Mau menghindar atau menangkis, panasnya pecutan Aquilla mampu hancurkan pertahanan Anky. "Tak bisakah kau turuti keinginan seorang gadis yang menderita ini, hah?"
"Apa dengan cara itu ... kau akan terbebas dari penderitaanmu?" Anky mendengus sinis, lekas lucuti benda-benda macam kerikil di rambutnya untuk digenggam erat. "Tanpa menyerahkan Achio padamu, kau juga terus menderita, Aquilla."
"KAU TAK TAHU APA-APA TENTANG KEHIDUPANKU!" Tepat Aquilla menyelam dan muncul di hadapan Achio untuk lepaskan pecutan, Anky lemparkan benda tadi padanya. Dalam sekejap, asap menyelimuti sekitar Achio. Tersisa bagian belakang yang tak tertutup asap, memperlihatkan cahaya seiring lahar mulai mendingin.
"Achio, lari secepat yang kau bisa!"
Gadis dengan iris mata safir itu menatap gelisah pada asap hitam. Kakinya enggan menapak jauhi Anky. Namun, ini perintahnya. Dia orang baik. Achio harus menurut. Mau tak mau, Achio berlari menjauh, melompati petak demi petak daratan. Makin jauh, Achio merasa asap yang Anky buat menghilang. Maka ia berbalik, seketika irisnya menciut.
Gadis centaurus itu berusaha menyerang Aquilla yang terjebak lahar dingin sambil menggenggam pecut panas milik sang lawan. Tangannya terus alirkan darah yang bertukar jadi uap.
"A-anky...." Achio sungguh mati kutu. Kakinya lemas, ujungnya ambruk. Menyaksikan Anky muntah darah benar-benar runtuhkan nyali Achio. Melihat Aquilla menusuk perut Anky menggunakan tangan berselaput penuh kuku tajam seakan mencabut kesadarannya.
Semua hitam. Achio tak dapat melihat Anky maupun monster duyung itu.
Di lain sisi, Anky meringis sambil tancapkan tombak berlumur darah hitam pada dada Aquilla. Satu serangan artinya luka di perut semakin dalam. Darah terus ia muntahkan.
"Kau terlalu menyedihkan," kata Aquilla mulai mendekat melepaskan ekor duyung dari lahar dingin yang mengalir deras. "Apa perlu kau sampai terluka parah demi melindungi orang yang belum tentu merupakan sosok sesuai ramalan?"
"Aku tak peduli," jawabnya segera menekan tombak guna tusukannya kian dalam seperti luka yang ia dapat. "Sejak melihatmu seperti ini, aku akan selalu percaya pada petuah peramal tentang Achio."
"Begitu, ya?" Wajah mereka cukup dekat. Mata Aquilla makin memerah. Secepat kilat, tangan satunya ia acungkan depan muka Anky. "Sayang sekali.... Padahal aku tak mau membunuhmu, tapi kau sendiri yang bilang harus mati jika mau rebut Achio."
Tangan Aquilla melesat begitu ringan menuju wajah Anky. Perempuan berbadan kuda itu sempat hambat pergerakan Aquilla dengan cara serupa. Namun, sampai mata tombak menembus perutnya, Aquilla masih bisa bergerak ingin menusuk muka lawan.
Anky lekas memejam kuat....
Bruk!
Anky merasa luka di perutnya tak terisi tangan Aquilla. Lantas ia buka mata. Tiba-tiba saja monster duyung itu terkapar menggelepar berusaha uraikan sulur bercahaya di leher. Tak sampai di situ, muka Aquilla ditendang dan diinjak tanpa ampun oleh puan berambut ikal panjang. Apa dia Achio----bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achio: The Legend of Seven Paradise
FantasySang pendongeng di luar sana pernah menceritakan legenda tujuh surga, tujuh tempat yang memiliki satu benda sakral untuk menghancurkan tujuh kutukan autis dan memberi kekuatan serta menjadikannya sebagai raja di atas penguasa tujuh surga bagi yang m...