Chapter 11 - Menuju Titik Darah Penghabisan

60 15 27
                                    

Bagaimana caranya?

Tak ada cara paling aman selain ini. Tubuh Archae mulai berasap. Darah yang semakin menetes deras ke dadanya perlahan membeku hingga seluruh bilah pedang musuh menjadi sebongkah es. Gigi Archae menggertak pun keluar asap. Permukaan salju di sekitarnya mencair bahkan menguap.

"Menyingkir dariku!" Sejenak ia tarik pedangnya sebelum mendorongnya dengan kuat dan cepat hingga mengenai hidungnya. Tak sampai di situ, ia menendang Achio sampai jatuh tersungkur. Api membara di baju Achio sebagai jejaknya.

"Kau pikir aku akan diam saja?" Archae langsung ciptakan kobaran api dan uap es di masing-masing tangannya. "Lihat Achio seperti itu malah mengancam kediamanku."

Ia takkan berikan celah sedikitpun pada Achio. Takkan pernah. Itu makna dari caranya layangkan tinju dan tendangan bertubi-tubi. Setiap kakinya menapak, salju akan mencair dan menguap. Setiap darahnya menetes, cairan merah itu berubah jadi tarian api yang dapat dilihat dalam hitungan detik. Setiap uap salju yang menguar di sekitarnya, tubuh Archae terasa semakin ringan untuk diajak bertarung.

"Sadar, Achio!" pekik Anky di sela Archae lecutkan pukulan jab meski ditangkis Achio. "Kau bisa menarik perhatian Tyran! Kendalikan tubuhmu, Achio!"

Begitu, ya? Kalau ia simpulkan, cahaya merah yang Archae lihat asalnya dari Tyran. Bila sampai dia datang, terus terang Archae akan tewas di tempat. Salju di sini semakin menipis. Sebuah peringatan untuknya yang mengandalkan salju berasap sebagai energi cadangan. Mau tak mau....

Kala Achio menghempaskan Archae gunakan perisai, ia sengaja jatuhkan diri dan lapisi permukaan tanah dengan es di salah satu tangannya. Di ujung lapisan es, ia langsung lompat dan berguling dengan kaki api siap tumbangkan salah satu anggota tubuh lawan. Bisa saja kepalanya agar terjerembap, atau pedangnya supaya serangannya berkurang. Namun, Archae mengincar perisai yang bercahaya.

TANG!

Perisai telah lepas dari cengkeraman Achio. Tentu sang lawan tak diam, hendak hunuskan pedang pada kepala Archae. Sayangnya Archae lebih dulu ciptakan es kristal yang ujungnya runcing melukai Achio ketika kakinya menapak lapisan es. Langsung saja ia rentangkan tangan ke atas dengan cepat dan ledakan api membuat lawannya terlempar tinggi.

"Cepat gunakan sihirmu, Anky!" pekiknya sedikit meringis kesakitan. "Buat senjata yang terbaik untuk kau pakai sebelum musuh lain datang!"

"Lalu, bagaimana dengan----"

"Jangan pedulikan aku dan cepat buat sebelum cahayanya hilang!" Begitu ia mendongak, betapa terkejutnya kalau Achio justru melayang bukannya jatuh. Tetapi, gadis itu tak sadarkan diri. Bagus, beban Archae mulai berkurang. Setidaknya ia masih harus waspada. Cahaya merah masih ada, jadi kemungkinan ada bahaya yang lagi besar.

Archae berniat ambil Achio sebelum ancaman datang. Waktu sayap api membentang di punggungnya, sekelebat bayang menarik perhatian. Bukan seekor burung yang cari makan, tapi robot besar berbentuk mirip harpy. Di bagian dadanya tertancap panah cahaya.

"Archae! Achio diserang!" Anky menjerit dan masih banyak robot sejenis berakhir rusak di hadapan Archae. Padahal baru sekian detik, tapi Achio sudah dikepung puluhan makhluk aneh. Maksud Archae, kenapa ada sebuah bola mata besar dengan sayap dan rumbai-rumbai merah yang menggeliat ke segala arah di muka bumi ini?

"Anky, jaga aku dari belakang!" Lantas dalam sekali hentak, Archae terbang menuju kerumunan bola mata bersayap. Ia bakar rumbai-rumbai itu dengan sayapnya ketika Archae melakukan putaran. Alih-alih berkurang, rumbai-rumbai menggelikan itu tumbuh kembali hingga saling mengikat membentuk jaring.

Kekuatannya bukan main. Lebih mengejutkannya lagi, sekumpulan bola mata bersayap yang terbang liar tengah mendekat padanya. Tali-tali merah berdenyut itu menciptakan kilat voltra.

Achio: The Legend of Seven ParadiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang