Chapter 10 - Teror Tiada Ujung

60 10 17
                                    

Kalau seseorang harus jujur, mungkin Aquilla akan bilang ... siksaan ini mengerikan. Betapa tidak? Hanya dengan jilatan dan satu patukan di dahi, Cera jadi kejang dan meronta-ronta. Gerakannya macam orang ingin patahkan tulang sendiri. Jerit menggelegar hingga Rosa bisa pastikan Cera tak bergerak lagi.

"Tubuh Cera ... kaku seperti bangkai burung," kata Aquilla kala mendekati Rosa dan menyentuh Cera pakai pedang runcing. Rosa tentu tak menyahut. Ia justru perhatikan Ste yang tak dapat bangun dan terus tutupi luka fatal. Luka bakar di perut cukup menyita atensinya.

"Kau sungguh membunuh----"

"Aku tidak membunuhnya," sela Rosa menghampiri Ste dengan langkah santai. "Aku hanya buat dia pingsan dalam beberapa hari."

"Benarkah? Aku justru meragukanmu."

Rosa tetap mengabaikan apapun yang menurutnya tak penting. Ia bersimpuh di hadapan Ste sambil keluarkan setangkai bunga putih dari lengan hanfu.

"Ulurkan tanganmu." Lantas, Ste menurut. Rosa menaruh bunga tersebut di sana dan perlahan wujudnya mengurai jadi partikel kecil yang menyerap kulit Ste. Sontak ia mendelik tak percaya.

"Mengagumkan...." Mata Ste yang keemasan itu makin terang kilaunya kala lihat hasil dari bunga tersebut. Secara berangsur, luka di sekujur tubuh Ste menutup hingga tak tinggalkan bekas. Mulus seperti tak pernah terluka.

"Bunga itu terbilang biasa," kata Rosa beralih mengobati Aquilla. "Hanya bunga yang biasa kau temui, tapi aku gunakan darah suciku agar teksturnya mudah terurai bila menyentuh kulit yang terluka."

"Lalu, kenapa waktu kau keluarkan, bunganya masih utuh?" tanya Ste masih takjub dengan kondisi tubuhnya.

"Aku pakai bahan langka supaya bunganya tetap utuh sebelum digunakan. Bahan itu pula wajib kumantrai supaya bunganya aktif hanya ketika menggunakan darah suci."

Ste tak bicara lagi saat itu. Tatapannya berfokus pada Cera yang berbaring kaku dengan darah suci milik Rosa di separuh wajah. Wanita berwujud iblis itu tak bergerak sama sekali, setidaknya begitulah yang Rosa lihat.

"Syukurlah aku bisa datang menyelamatkan kalian tepat waktu," kata Rosa menyudahi proses pemulihan Aquilla. Otaknya selalu memikirkan kondisi Achio dan Anky di gunung tempat Archae tinggal. Bagaimana keadaannya? Apakah mereka baik-baik saja? Semakin ia pikirkan, hatinya kian berdebar. Rosa tak boleh diam di sini untuk sekadar pulihkan tenaga.

"Kita harus pergi dari sini sekara-" Baru juga bangun dan jalan selangkah mendekati ambang pintu, Rosa langsung ambruk. Ste dan Aquilla menangkapnya dengan cepat. Ia meringis. Apa yang salah dengan diri ini?

"J-jangan bilang kau pergi kemari ... sambil menerobos hujan salju milik Archae?" Aquilla menebak dengan nada syok, bahkan tebakannya tepat sasaran.

"Apa?" Hanya sekali lirik, Rosa mampu lihat sorot mata kesal dari Ste. "Kau susah payah mengobati kami, tapi kau tak obati dirimu sendiri? Aku tak terima atas keputusanmu, Rosa."

"Kalau memang ada obatnya, sedari dulu aku bakal obati lukaku sebelum pergi selamatkan kalian," kata Rosa tak kalah dingin.

"Bukannya darah sucimu bisa hilangkan segala jenis luka sesuka hatimu?"

"Iya, tapi tidak dengan luka dari serangan Archae." Untuk memastikan luka hujan salju tidak terlalu banyak, Rosa singkap ujung lengan hanfu merah. Sialan, ternyata banyak hingga menyerupai penderita demam campak. "Luka ini hanya dapat disembuhkan oleh bunga Herbiopheia."

"Dan Achio adalah kunci supaya bunga itu tumbuh," ucap Ste mencoba tuntun Rosa untuk berdiri dan pergi bersama, tapi ia menolak bahkan minta Aquilla lah yang memapah Ste. "Kamu punya luka dalam. Aku tak bawa obat yang lebih manjur untuk sembuhkan luka itu."

Achio: The Legend of Seven ParadiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang