"Kau ingin aku menjaga bunga ini, Yang Mulia?" Ah, lagi-lagi Achio merasakan kehangatan dan wangi gaib ini. Tetapi suara yang bicara barusan berbeda dengan wanita di mimpinya hari itu.
"Iya, bunga itu berarti untukku. Apa kau bersedia?"
Hening mempengaruhi suhu udara yang Achio rasakan. Kehangatan itu lenyap, tergantikan dengan dingin yang seakan mau hancurkan tulang hingga partikel terakhir.
"Entahlah, Yang Mulia."
****
Akibat sensasi dingin di tubuhnya, Achio membuka mata perlahan. Apakah ... ia terbang? Tetapi, Achio berasa diguncang-guncang. Lagipula, dingin yang ia rasakan sejak bermimpi masih membekas, lekas melirik sumbernya. Ada baju besi yang menempel pada lengan Achio. Lalu wangi ini, sama dengan mimpi.
"Ada lagi korban yang selamat?" Guncangannya berhenti. Ada suara wanita yang familier di ingatan Achio.
"Semuanya telah tewas, Yang Mulia!"
"Termasuk penyusup menyebalkan itu?" Nada bicara dia mulai berat.
"Betul."
Sejujurnya, Achio penasaran dengan sosok yang baru saja ia ingat suaranya: persis dengan suara baru di mimpi. Pelan-pelan mata bulat Achio mengikuti kepalanya yang mendongak. Wah, betapa gagahnya perempuan ini. Dia berambut pendek pun berkilau diterpa matahari, tampak cocok dengan wajah berkulit putih. Dia tengok kanan-kiri dengan tatapan amarah dari mata semerah api neraka.
"Tetap jaga kawasan ini," katanya sambil benarkan posisi membopong Achio----ia masih menatapnya. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang jelas, mereka tetap pada tujuannya: mencari sosok dengan kutukan tujuh kegelapan."
"Baik!"
Tak lama setelah itu, decak samar terbit dari bibir semerah darah. "Mereka masih mengharapkan kerajaan itu," dan entah kenapa tatapan perempuan tadi hilang bagai ditiup angin. Senyum terbit semanis caranya memandang Achio. "Kau sudah bangun?"
Tangan kurus Achio terulur ke wajah sang penyelamat. Penyelamat? Entah. Cahaya pada mata biru Achio tak punya banyak arti. Kosong. Lagipula, tangannya kotor akan pasir dan abu.
"Kamu bersamaku sekarang," katanya memeluk tubuh Achio dalam bopongannya. Selama beberapa saat, hidungnya menempel di kening Achio. Ia refleks memejam. Kemudian, jeritan seseorang merebut perhatian Achio. Kapal layar mendarat di hadapan mereka. Mereka-para prajurit-menuntun wanita ini naik untuk beristirahat di sebuah ruangan kecil. Hanya ada satu ranjang yang busanya telah kempis. Achio duduk di sana, sedangkan dia menikmati pemandangan di kursi kayu.
Apa yang dia mau? Kenapa wanita itu mau menyelamatkan perempuan kotor dan tak tahu apa-apa ini? Lalu, apa yang terjadi selama ia tak sadar? Apa mereka turut terlibat di pulau tempat Achio lahir? Soal demi soal terus datang di otak Achio, seakan ada orang lain yang berbicara sesuka hati di sana. Tidak, Achio merasa ... PASTI ada sosok lain yang bakal kendalikan pikiran dan tubuhnya.
"Yang Mulia." Seorang pria datang membungkuk hormat di ambang pintu. "Kita sudah sampai."
Ah iya, Achio belum pernah berucap sepatah kata pun padanya. Padahal dia sudah bicara. Achio hanya mampu tatap dia dengan mata bulatnya.
"Kau sudah periksa sekitar kapal, kan?" tanyanya tanpa menoleh.
"Sudah, Yang Mulia."
"Tak ada sesuatu yang mencurigakan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Achio: The Legend of Seven Paradise
FantasySang pendongeng di luar sana pernah menceritakan legenda tujuh surga, tujuh tempat yang memiliki satu benda sakral untuk menghancurkan tujuh kutukan autis dan memberi kekuatan serta menjadikannya sebagai raja di atas penguasa tujuh surga bagi yang m...