"Tolong jaga dia, yang Mulia." Para centaurus yang tersisa tengah tunduk di hadapan Rosa. Wanita itu menyerahkan cawan kosong pada dayang untuk diisi lagi. Uap lembut mengiringi aliran teh putih. "Anky adalah satu-satunya anggota keluarga saya yang tersisa."
"Aku pasti akan menjaga Anky sampai pulih," kata Rosa menyesap teh sejenak. "Butuh berhari-hari supaya lukanya sembuh, terlebih dia punya luka serius di perut."
Pria berkulit cokelat itu tertawa sumbang. "Dia selalu begitu. Putriku sangat berani sampai tak pedulikan tubuhnya penuh luka. Putriku...."
"Kau diberkati seorang putri yang kuat." Rosa memandang minuman hangat dalam cawan. Bayangannya tersenyum tipis. "Pengorbanannya untuk gadis itu cukup terkesan, bukti bahwa dia masih setia pada Ronto."
Mereka menggumam mengiyakan. Melewati keheningan yang berkepanjangan, Rosa menenggak habis tehnya kemudian berkata, "Pulanglah. Akan aku pastikan Anky pulang secepatnya begitu lukanya sembuh."
"Baik, Yang Mulia." Lekas sekumpulan centaurus itu pergi keluar wilayah istana. Wanita dengan hanfu merah pun balik masuk, menghapus raut wajahnya yang penuh kelembutan. Dingin tak berekspresi. Dayang-dayang berdatangan menemani Rosa berjalan susuri lorong luas.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Rosa menyerahkan cawan tanpa menoleh sedikitpun.
"Mereka tidur dengan nyenyak, Nyonya."
"Napasnya beraturan?"
"iya."
"Baguslah." Rosa tiba menghadap pintu besar penuh ukiran khas China. Warna merah mendominasi badan pintu tersebut dengan sisi warna emas. Salah satu dayang mempersembahkan kotak hitam kecil. Dalam sekejap, pelindung kuku yang runcing membalut seluruh jarinya. Rosa melirik sebentar sambil berkata, "Pergilah jaga mereka."
Para pembantu dengan selendang putih langsung menghilang. Rosa cukup menyentuhnya dan pintu lekas terbanting keras. Isinya berupa tanah kosong penuh sarang laba-laba yang menebal dan tumpukan kerangka manusia yang berserakan. Di sisi dinding abu-abu terpasang banyak borgol rantai, salah satunya dipakai Aquilla, di mana borgol yang mestinya untuk kaki malah mengunci tangannya. Tubuh Aquilla mengering akibat tak disediakan kolam, mungkin beberapa hari lagi tersisa kulit dan tulang.
"Bagaimana tidurmu, Aquilla?" tanyanya berjalan santai nan anggun, sesuai pangkatnya sebagai kaisar. Ia diam-diam mengetuk jari, kemudian cahaya merah melapisi ambang pintu. "Pasti tak nyenyak, kan?"
"Kau...." Aquilla menggeram rendah, tapi ia tak bisa apa-apa selain diam.
"Tak perlu lama-lama." Rosa pun berjongkok sambil ulurkan tangan di atas kepala Aquilla. Salah satu jari membidik telapak tangannya sendiri. "Aku ingin tahu apa yang mereka bilang padamu hari itu."
Namun, Aquilla hanya menggeram lebih keras dari sebelumnya.
"Apa yang mereka lakukan sampai kau rela mengubah wujudmu menjadi seperti ini?"
"BERISIK!" Sembari teriak, Aquilla nyaris buat Rosa terluka andai tangannya tak diborgol. Meski begitu, embusan angin dari efek cakar milik Aquilla berhasil Rosa hindari. Ia tahu Aquilla akan terus meronta-ronta, berharap cakarannya bisa nodai tubuh Rosa. Namun, tak jarang Rosa dapati luka kecil karena Aquilla.
"APA KAU TAKUT AKU MENDAPAT TETESAN DARAHMU, ROSA?" Dan Aquilla cekikikan nyaris kehilangan suara. "Kau sangat menghargai darah sucimu."
"Lalu apa yang kamu lakukan sekarang?" tanya Rosa dengan muka tanpa ekspresi. "Kau hanya membuang energimu. Tidak, waktuku juga terbuang sia-sia karena kau."
"Aku tak peduli!" Satu sapuan ekor ikannya timbulkan angin kuat yang melukai muka dan pundak Rosa. Sejumput rambut dan sehelai kain pun terpotong. Tawanya berhenti meski napasnya memburu. "Kau tahu apa yang mesti kau lakukan agar waktumu terpakai dengan baik? Cukup berikan aku setetes darahmu lalu bebaskan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Achio: The Legend of Seven Paradise
FantasySang pendongeng di luar sana pernah menceritakan legenda tujuh surga, tujuh tempat yang memiliki satu benda sakral untuk menghancurkan tujuh kutukan autis dan memberi kekuatan serta menjadikannya sebagai raja di atas penguasa tujuh surga bagi yang m...