Majulah, Achio....
Pemandangan yang Achio lihat langsung menjadi putih tanpa batas. Tentu ia kaget bukan main. Namun, ia bingung. Haruskah ia turuti suara itu? Mungkin tak ada salahnya mengikuti suara fanilier tersebut. Setiap kaki telanjangnya berpijak, terlukiskan tanah gersang penuh gumpalan darah dan abu. Achio sempat terperanjat melihat keanehan di atas pijakannya.
"Berjuang untuk nona Tyran!"
Seruan. Teriakan. Erangan. Desingan mata pisau yang beradu. Kuda yang berlari. Semua menyatu. Semua menyerang pendengaran Achio sampai mengacaukan pikirannya.
Teruslah maju.
Teruslah maju. Baiklah. Susah payah ia gerakkan kakinya. Satu pijakan lagi menggambarkan lantai marmer dengan cipratan darah dan mayat di mana-mana.
"Kembalikan adikku. SEKARANG!"
"Kau boleh ambil dia setelah membunuhku."
Apa? Siapa orang yang Tyran bunuh? Achio tak merasakan suara itu lagi, lekas mendongak. Namun, ia melihat Tyran berdiri menginjak dada seseorang yang bersandar di kursi raja, baru saja menancapkan senjata tajam pada tangannya yang terentang. Tangan gadis berambut merah itu menghitam dan membengkak hingga tercipta tangan monster.
Paling penting dari semua ini, Achio merasa tubuhnya bergerak sendiri.
"Aku sudah menduga...." Napas perempuan yang dadanya terinjak itu terasa berat. "Kalau kau-"
"KAK TYRAN!" Ia terjatuh dan meneteskan banyak air mata.
"Kau tak apa?" Begitu mendongak, Tyran dengan mimik cemas membantunya berdiri. Kesadaran Achio tak lagi dalam diri Ronto yang tumbuh remaja. Gadis berambut pirang itu tak merespon barang sedikit.
"Aku tahu kau terpukul, Ronto," kata Tyran segera menyentuh kedua pipi sang adik, meminta untuk tatap matanya sekarang. "Tapi kita harus bangkit. Kita tak bisa terus menangisi ibu dan ayah."
Aku tak mencemaskan mereka....
"Dia mencemaskan kakaknya." Seseorang menggenggam tangan Achio dengan erat. Ada wanita paruh baya berambut merah api berdiri memandang kilas balik yang entah milik siapa. Dia menoleh kemudian tersenyum lembut padanya. "Perhatikan cara mereka bertatapan."
Meski Achio menelengkan kepalanya kebingungan, ia tetap turuti. Sekilas Ronto dan Tyran terlihat biasa saja dalam beradu tatap, tapi sekarang ia melihatnya. Iris mata Tyran masih berselimut dendam, sedangkan iris mata Ronto berkaca-kaca ketakutan.
"Iya...." Ronto lekas mendekap Tyran erat-erat. "Maka dari itu, kita harus tetap bersama."
Tetap bersama? Namun, yang Achio tahu justru perseteruan Ronto dan Tyran. Tyran menginginkan sesuatu dari sang adik sampai Ronto memilih menyegel dirinya bersama separuh kekuatannya. Separuhnya lagi ada dalam dirinya.
"Kami sebagai arwah selalu menyaksikan kehidupan mereka." Kedua tangan Achio telah digenggam erat oleh dua orang, salah satunya ialah pria berambut pirang dengan pakaian selayaknya raja. Dia menoleh pada Achio kemudian cakap, "Tutup matamu dan biarkan kami menuntunmu."
Lagi-lagi Achio menurut. Ia tutup mata dengan lembut. Biarkan tubuhnya semakin ringan berkat tuntunan mereka. Suara Ronto dan Tyran menghilang. Ia mulai merasakan hawa di ruang tak terbatas ini. Sensasi dingin menusuk kulit membuat Achio menerka-nerka: tempat apa yang ia kunjungi bersama mereka berdua?
Tak ada angin, Achio merasakan mulutnya dibekap. Beruntung ia pertanyakan diri dengan berbekal kejadian barusan. Apa kesadaran Achio kembali merasuki memori Ronto? Kemudian, tubuhnya diseret paksa dan kakinya terantuk lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achio: The Legend of Seven Paradise
FantasySang pendongeng di luar sana pernah menceritakan legenda tujuh surga, tujuh tempat yang memiliki satu benda sakral untuk menghancurkan tujuh kutukan autis dan memberi kekuatan serta menjadikannya sebagai raja di atas penguasa tujuh surga bagi yang m...