Episode 46

390 35 0
                                    

    Ketika Zin benar-benar hampir pingsan. Truk berhenti di persimpangan jalan. Dia langsung melompat turun. Aku dengan wajah memerah ikut turun,menyusul Merah dan Doriy sambil mengeluarkan air mata yang berderai-derai. Bapak itu tertawa lebar melihat tampang kami.

   
    "Terimakasih atas tumpangannya,Pak"  Ucap ku setelah menarik udara dalam-dalam dari hidung.

    Si Bapak mengangguk, masih tersenyum geli. Beberapa saat sebelum Si Bapak menginjak pedal gas,ia berpesan agar kami berhati-hati,sekarang lagi panas panasnya penculik gadis,apa lagi gadisnya seperti kalian bertiga,Cantik-cantik.

   "Jadi sekarang kita kemana? Ucap  Merah seperti biasa. Datar,dingin dan besedekap,aku melihatnya terpesona. Mana ada manusia normal yang tahan bau busuk telor ayam bercampur dengan kotoran dan bau ayam itu sendiri. Tapi Merah sedari tadi santai seakan-akan dia tidak mencium bau busuk tadi.

    Baiklah,tidak ada waktu untuk mengeluh saatnya mencari Guru Ling yang sudah dibawa entah kemana.

     " Kita tidak mencari makan dulu?"

    Kami bertiga langsung menoleh kepada Zin. Dia mengangkat bahu tidak berdosa, aku melotot.

    "Kenapa? Aku hanya bertanya,sekarang sudah jam dua lewat,wajar kalau aku lapar,ayolah Ra,matamu bisa keluar. " Zin menelungkupkan wajahku dengan tangannya yang langsung ku tepis.

    "Ya sudah lah,tidak ada salahnya kita sekalian mencari makan,kita membutuhkan energi yang cukup nantinya" Merah menengahi,yang membuat Zin besar kepala.

    Zin menyergai senang,sengaja benar menyenggolku saat berjalan mengikuti Merah.

    Kami berempat saling lirik,di depan ada tukang bakso keliling,aromanya sampai keseberang jalan.
 
    "Kalian punya uang?" Bisik Doriy,dia sedari tadi hanya diam,sampai kami tiba di sebelah gerobak bakso.

    Aku menggeleng. Juga Merah.

   Zin nyengir lebar,berjalan penuh gaya kekursi yang sudah di sediakan Abang tukang bakso. Melambai,mengajak kami bergabung.

     Setelah saling lirik-lirikan,dan mendengar dengkuran dari dalam perut Doriy,kami memutuskan untuk bergabung.

    "Bang! Baksonya Lima"

    Lima??

    "Siap! " jawab Abang bakso dengan jempolan.

    Aku menatap tajam Zin di depan ku, lima??

    Seakan mengerti Zin tersenyum. " Aku lapar sekali,Ra. Kemarin tidak sempat kekantin,kamu tidak dengar apa kata Merah?? Kita membutuhkan energi nantinya"

   Aku mendengkus/" Kamu punya uang untuk membayar? Jangan buat masalah Zin,ini kota orang. " Gumamku gemas melihat dia asik menyambar sendok. Terlihat tidak peduli"

    "Haaah,Pelanggan semakin sepi. Bakso ku setiap harinya sisa banyak. Ini Deek. Silahkan dimakan" Bang bakso cekatan meletakkan mangkok bakso di depan kami,sambil mengeluh.

    Setelah satu suapan masuk kedalam mulut Zin,dia melebarkan mata. Berseru" Kenapa sepi bang? Ini bakso yang paling enak yang pernah kumakan."

    Abang itu terkekeh,mungkin senang di puji.

    Soal bakso yang terenak,Zin benar. Baksonya memang sangat enak. Doriy masih asik mengaduk bakso yang baru dia campur dengan sambal.

    "Yaah,Abang kan penjual bakso keliling. Kalah sama yang sudah punya restaurant sendiri,cafe atau jualan di depan rumah. Bakso keliling tidak banyak yang suka dengan udara sekotor ini. Banyak debu,tidak enak makan di pinggir jalan. Bisa jadi penyakit" Abang tukang bakso itu tertunduk,berdiri dibalik gerobaknya.

    Kami terdiam,masalah abang ini mungkin biasa saja bagi kami,tapi baginya itu amat serius. Aku semakin tidak enak,apabila nanti Zin memilih melarikan diri ketimbang membayar.

    Setelah mangkok bakso kosong ,kami bergegas berdiri. Menatap Zin harap-harap cemas,dia hanya cengar-cengir sedari tadi. Wajah sebalku dan wajah pias Doriy seakan hiburan baginya.

   Zin kembali santai menghampiri Si Abang. Menyerahkan sesuatu. "Kami anak sekolah bang,tidak punya uang. Tapi jika kami membayar dengan ini,bisa membantu" Cengirnya lagi.

    Awalnya Abang itu terkejut mendengar kami tidak punya uang,tapi setelah Zin menyerahkan benda berbentuk lidi, daginya bergelombang bingung,menerima lidi itu.

    "Apa ini?

    Zin menarik lidi itu,mematahkan ujungnya lantas menempelkannya di mangkok bakso yang sudah kosong. Setelah lidi melekat,Zin mengetuk mangkok,lantas mangkok itu melayang ke ember tempat biasa Si Abg mencuci mangkok-mangkok kosong.

    Abang bakso melotot lebar,saking lebarnya memungkinkan bola matanya akan keluar dari tempat nya.

    " astaga,ini seharga dua gerobak,Dek. Aku tidak bisa menerima ini. Harga pas saja"..
  .
    Kami terpana,Abang ini berbeda sekali dari penjual pada umumnya.

    "Kami buru-buru bang,ini ." Zin sudah menarik tangan kami,sebelum Abang itu kembali memerotes.

    Oke,masalah bakso sudah lewat,kembali ke Guru Ling. Zin melirik sekitar,kami berada di balik bangunan yang tidak di gunakan..

    "Aku kenal,salah satu dari mereka, yang lari membawa guru Ling. Ada tato kalajengking di lehernya. " Jawab Merah setelah Zin mengutarakan pertanyaan beberapa saat lalu.

    Zin tersenyum. "Mudah saja,jalan satu-satunya adalah kita pergi ke klub malam."

    Refleks aku menipuknya.

    "Astaga,Ra. Kamu apa-apaan, aku tidak bercanda. Kita ke klub malam,dari infomasi yang kubaca,gadis yang hilang terakhir berada di klub. Mungkin kita bisa menemukan pria bertato kalajengking disana" Zin menatap ku kesal,kali ini aku yang nyengir.





Tinggalkan jejak ya Gaiss,setidaknya HANYA vote,komen,and follow akuuuy heheee.

Annyeong aseo.
Thank you.
Khangsamida..
Mauliate

RaikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang