The Future

300 6 1
                                    

Tokyo, Japan

20.00 p.m

 

            “Ran, kau bisa mendengarku?”

            Suara itu terdengar bergetar. Deru napasnya tidak teratur. Ia menggenggam gagang telepon umum dengan erat. Musim dingin terlihat semakin membekukan kota Tokyo. Salju mulai turun dan akan menghiasi malam natal sekaligus tahun baru nanti. Namun langitnya terlihat bersih. Hitam pekat seolah mengikuti suasana hati seorang pria yang tengah terduduk lemas di dalam telepon umum. Gagang teleponnya telah terjatuh, meninggalkan bunyi tut...tut yang pendek-pendek. Menandakan bahwa tak ada sahutan lagi di seberang sana.

            “Kau dimana, Ran?” Ia bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.

            Raut wajahnya tergambar jelas, menyisakan puing-puing ketakutan yang semakin menyergap. Ia meninju dinding box telepon umum itu, menimbulkan getaran. Ia mengedarkan pandangan di stasiun Beika yang masih ramai. Tertunduk lemas. Kemudian mengerang frustasi.

            Dua jam yang lalu, ia mendapati sebuah surat. Tak jelas apa maksudnya. Ia memang bertengkar dengan Ran akhir-akhir ini, namun tak disangkanya gadis itu akan pergi meninggalkan rumah begitu saja, hanya mengucapkan salam perpisahan, secarik kertas yang langsung diremukkannya, dan segelas susu hangat di atas meja. Saat itu ia bahkan tak ada di rumah dan mendapat telepon dari Sonoko, memberitahukan kepergian Ran, mungkin Ran cerita tentang pertengkaran hebat mereka dua hari yang lalu. Kemudian, hal itu berujung pada teriakan Ran tentang betapa sakit dirinya menunggu selama bertahun-tahun. Kakinya lemas sudah. Ia tak mampu berpikir jernih jika menyangkut Ran.

            “Kudo?”

            Benar, pria itu menoleh saat namanya disebut. Namun, ia langsung mendesah kecewa saat yang menghampirinya adalah teman satu profesi dengannya, Heiji. Kening Shinichi berkerut. Ia segera bangkit dan keluar dari boks telepon. Melambai kaku pada Heiji yang mengenakan setelan jas hitam.

            “Kapan kau datang?” Tanya Shinichi langsung, raut wajahnya masih sama, bak benang kusut yang tak ingin dipintal ulang.

            “Beberapa jam yang lalu,” balas Heiji.

            “Aku ke kantormu tadi, dan orang-orang sedang membicarakanmu yang pergi secara tiba-tiba,” “lanjut Heiji, menjabat tangan Shinichi.

            “Apa terjadi sesuatu?” Tanya Heiji. Ia menunjuk bangku tempat menunggu. Mengajak Shinichi duduk di sana.

            Shinichi mengangkat bahunya.

            “Apa kau bertengkar dengan Ran?” Tanya Heiji lagi.

            Shinchi nyengir.

            “Ya, bertengkar hebat,” ucap Shinichi, menunduk.

            Kedua pria itu berdiam. Mereka tak melanjutkan pembicaraan lagi. Shinichi menyandarkan tubuhnya. Ia mengedarkan pandangannya pada lautan manusia yang masih berlalu lalang, padahal waktu hampir menunjukkan pukul 10.00 malam. Musim dingin pertamanya, dihujani dengan pertengkaran-pertengkaran yang hampir tak ada habisnya. Ran memang jauh lebih sibuk sekarang setelah ia menerima tawaran untuk menjadi pengacara, seperti ibunya. Mereka sedikit kehilangan komunikasi akhir-akhir ini, namun, bukan berarti ia melupakan istrinya itu.

            “Apa yang membuatmu kemari?” Tanya Shinichi, membuka pembicaraan mereka.

            Heiji mendesah, menatap Shinichi. Kemudian keduanya tertawa lebar, bahkan membuat orang-orang melihat ke arah mereka dengan pandangan aneh. Heiji membuka bungkusan yang tadi ia pegang. Mengeluarkan soda dan melemparkannya satu kepada Shinichi.

The Collection of Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang