Different

309 6 0
                                    

 “Mereka mengharapkan perbedaan yang tak kunjung datang”

 

Different’s begins

 

Metro melaju lebih cepat. Bunyinya berdesing, berdengung membuat keributan. Seorang pemuda yang mengenakan seragam berjalan mendorong trolli berisi aneka makanan dan minuman. Suaranya bersaing dengan deru metro yang tak jua mengurangi bunyinya yang memekakkan telinga. Di pinggir jendela sebelah kanan. Seorang gadis berambut cokelat gelap terlihat terkantuk-kantuk.Berkali-kali kepalanya terantuk dinding jendela. Kacamatanya berteger manis di hidungnya. Nyaris terjatuh. Penampilannya sedikit kacau. Ia memeluk tas besar dan langsung tergagap saat metro mengeluarkan suara, mngejutkannya.

"Belum juga," gumamnya lirih. Melirik jam tangan. Bibirnya membuka. Ia menguap lebar, mengibas-ngibaskan tangannya di depan mulutnya yang ternganga. Tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar. Ia meraba-raba kantongnya. Mencari-cari.

"Ya Oliv," sapa si gadis.

"Tentu saja, aku bisa mencarinya sendiri."

“Ah baik, nanti kutelepon. Love you."

Si gadis mematikan ponselnya. Ia memang sengaja tidak meminta Olivia, ibu tirinya untuk menemaninya kali ini. Kemarin ia mendapat telepon dari salah satu perusahaan penerbitan. Ia langsung berteriak senang dan memberitahu Olivia bahwa ia akan terbang ke sini, Paris. Si gadis merutuki dirinya, sebenarnya ia kurang perhitungan sehubungan kepergiannya ke sini. Ia memang terburu-buru karena deadline dan wawancara dipercepat. Ia bahkan tak sempat mencari flat baru untuk ditempati. Wajahnya mendung, seirama dengan bumi yang kian mendingin.

"Eumm...permisi."

Seseorang menggeser tubuhnya, meminta sedikit tempat duduk. Si gadis bergeser. Kemudian kembali merenungi nasibnya. Sejujurnya ini bukan hal penting, ia bisa saja menginap di hotel, meminta uang pada Dad. Tetapi rencananya tentang hidup mandiri akan berlangsung sia-sia. Lexa menghembuskan napasnya, mengumpulkan embun pada jendela metro.

"Semoga setelah turun aku bisa menemukan flat baru yang cukup nyaman," gumam Lexa, pelan.

"Permisi."

Lexa ikut menggeser tempat duduknya lagi. Kali ini matanya tertuju pada seorang pria yang baru saja duduk di sebelahnya. Lexa nyengir. Ia harus mengakui bahwa pria yang baru saja duduk tadi cukup tampan. Wajahnya manis dengan bibir tipis, kulitnya bersih, putih tanpa bintik-bintik, hampir mirip dengan kulitnya sendiri. Namun, yang membuatnya menarik adalah rambut pria itu. Hitam, tidak mirip dengan orang-orang barat kebanyakan. Seperti Lexa tentunya, rambut gadis itu malah berwarna cokelat gelap.

"Maaf, apa ada yang salah dengan wajahku?"  Pria tampan itu menoleh ke arah Lexa, mengerutkan keningnya.

Lexa tersentak, ia menggelengkan kepalanya,"Tidak...bukan itu."

Pria tampan itu menautkan alisnya. Terlihat bingung.

"Kau...berasal dari Inggris?"

The Collection of Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang