Part 10 (Menyemai Cinta)

145 10 2
                                    

Terdengar lagu love of my life-nya Queen, nada dering gawai dari saku rok. Kemudian terdiam kembali. Beberapa saat terdengar kembali. Kemudian berhenti. Dan hidup untuk ketiga kalinya.

Aku perlahan membuka bantal yang kugunakan untuk menutup wajahku. Masih dengan pelukan Mas Bram mengunci gerakku. Kurogoh gawai, tertera di layar, sebuah nomor tanpa nama. Tapi nomor itu, kuhafal diluar kepala.
“Siapa Dek?” Mas Bram bertanya tanpa melonggarkan pelukannya.

“Gak ada namanya,” jawabku sekenanya, sembari menata hati, jantung yang berdebaran karena dua kejadian beruntun ini. Ketika upaya sekuat tenaga untuk menyemai cinta, seketika cerita masa lalu itu datang tanpa permisi.

Beginikah ujian cinta? Sekepingan masa lalu yang jelas tak mungkin kulupa ketika otak ini masih bisa berfungsi dengan wajar. Hanya berusaha, meletakkan semua pada tempatnya. Tapi itu semua tidak mudah! Dan aku yakin semua orang yang pernah merasakan rasa ini, mengerti bagaimana sulitnya.

Satu pintaku, hanya ingin sekali saja bertemu dengannya, hanya ingin tahu kenapa ia dengan begitu saja menginginkanku pergi. Itupun jika bibir ini mampu untuk berucap, karena bersamanya, bahkan tak perlu banyak kata.

Mas Bram mengendurkan pelukannya. Kami kini berdua sama-sama menatap langit-langit kamar.

“Mas, punya mantan pacar nggak?“

“Punya.”

“Masih suka inget nggak?”

“Nggak.”

“Kok bisa?”

“Ngapain diinget-inget.”

Aku menggaruk jilbabku meskipun tidak gatal. Apakah semudah itu lelaki melupakan perasaannya. Semudah itu lelaki menghapus rasa yang pernah ada.

“Lelaki gitu ya, gampang melupakan.”

“Ya nggak gitu juga.”

“Ah lelaki emang gitu.” Kali ini nada bicaraku menjadi emosional.

“Kamu kenapa sih Dek?” Mas Bram kembali miring kearahku dan kembali memeluk dengan erat. Berbisik tepat di depan telinga. “Mas gak akan bisa melupakanmu sampai kapanpun, sampai maut memisahkan kita.”

“Gombal.”

Tiba-tiba pintu kamar kami terbuka. Dimas masuk ke kamar, dan memandang kami dengan serba salah. Lalu, ia menutup muka dengan jari-jarinya yang terbuka dan berlalu keluar.

“Sori, sori, oawalaah ada penganten baru. Silahkah dilanjutkan, aku tak metu (akan akan keluar)!”

Mas Bram spontan melepaskan pelukannya dan kami tertawa bersama. Hanya menatap Dimas berlalu dan kembali menutup pintu kamar.

“Dimas mau ambil barang-barang tu.”

“Dia tinggal disini to?”

“Iya, di kamar atas, mau tak minta ngurusi rumah yang di Grand Candi.”

Kami berbegas bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Dimas sudah terlentang di atas karpet depan TV yang luas tapi memang masih kosong belum diisi apa-apa.

“Jiwa jombloku berteriak. Kamar penganten baru itu dikancing. Jian.” Dimas menyambut kami dengan berondongan kata-kata.

Kami hanya saling pandang dan tersenyum simpul. “Lha ngapain masuk ke kamarku, kamarmu kan neng duwur (di atas),” jawab Mas Bram.

“Mana gue tahu ada manten anyar baru ena-ena. Mau pinjem kopermu. Lagian pulang gak bilang-bilang. Kupikir nanti malam baru sampe.”

“Ngawur. Lagi palang merah yo!” Mas Bram menjawab sambil melirik kearahku yang sudah menahan malu.
“Nasibmu, Mas!”

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang