Part 6 (Terjalnya Dinding Kasta)

125 14 0
                                    


Tiba di sebuah rumah sangat mewah bergaya eropa klasik dengan cat putih mendominasi, Mas Bram mendekati post satpam di ujung pintu. Lalu beberapa saat pintu gerbang nan megah itu, berderit terbuka.

Aku yang masih duduk kokoh membonceng mas Bram hanya bisa membuka kaca helm dan berdecak mengagumi rumah ini. Tiba di lobi utama dengan pilar-pilar tinggi nan kokoh, Mas Bram menghentikan dan mematikan mesin motornya. Melepas helm dan menengok ke arahku. Senyumnya, berhasil membuatku kikuk.

Sambil melepas helm yang kupakai, ekor mataku melirik kekanan dan kekiri dan bersiap untuk turun dari motor mas Bram. "Ini rumah mas Bram? Tanyaku penuh kekhawatiran.

Mas Bram mengangguk. "Mas, kok gak jujur sama aku?" potongku dengan berdiri mematung membawa helm di samping motornya.

"Bukannya Mas bilang kemarin di kost, kalau untuk memulai semuanya kita harus terbuka?" lanjutku dengan nada mulai meninggi.

Mas Bram berdiri di depanku, sembari menyentuh ujung jilbabku yang tidak rapi terkena helm dan tersenyum. "Bagian mana yang Mas gak jujur?"

"Mas ternyata orang kaya." Jawabku dengan penuh kekhawatiran.

"Mas sudah pernah bilang kan, kalau Mama dan Papa memiliki beberapa usaha? dan Mas juga bilang semua milik mereka, Mas tidak punya apa-apa, ingat Mas pernah bilang begitu bukan?" jawabnya setengah berbisik.

"Mas, tapi aku gak bisa Mas...Mas ayo pulang,"pintaku.

"Aku mohon mas." Entah mengapa perasaanku tiba-tiba terasa tak beraturan. Ada tembok besar yang kurasakan menghadap tepat dihadapanku.

Mas Bram bisa jadi menerimaku dan keluargaku, tapi bagaimana orang tuanya dan bagaimana aku harus menyesuaikan diri dengan keluarga Mas Bram. Sesuatu yang tidak seimbang hanya akan menimbulkan masalah. Itulah ketakutanku yang tiba-tiba menyeruak. Pengalaman kelam masa lalu, bayangan Bapak dan Ibu berkelebat semakin memantapkan inginku untuk segera pergi. Membayangkan saja, dadaku terasa sesak.

"Semua akan baik-baik saja," bisiknya sambil menggandeng tanganku untuk masuk kerumahnya.

Memasuki ruang tamu membuatku semakin tercekat. Ruang tamuku mungkin hanya seukuran pos satpam rumah ini. Aku benar-benar bingung, menatap ruang tamu yang berhiaskan lampu kristal yang sangat indah, seingatku aku belum pernah melihat seperti ini. Meskipun beberapa kali aku mengikuti kegiatan konferensi di hotel-hotel berbintang di dalam dan luar negeri, tapi ini menurutku sangat berbeda. Lukisan-lukisan yang secara awam bisa kunikmati betapa damainya.

Aku terkaget, ketika mas Bram sudah ada disampingku dan menyusul di belakangnya, seorang perempuan paruh baya yang sangat cantik dan anggun. Kulit mulusnya tiada tercela.

"Kenalkan ini Ayasha Ma."

Aku berdiri, mendekati Mama Mas Bram dan kuulurkan tangan dan kucium tangannya yang halus.

"Jadi istri Bram tidak mudah lho."

"Tidak bisa bersantai-santai dan bersenang-senang."

Mama Mas Bram memandangku dengan sorot mata tajam. Apa yang dikatakan Mamanya mas Bram begitu jelas kudengar, tapi jujur aku tidak menangkap maksudnya.

"Bram sering didekati oleh perempuan-perempuan yang hanya ingin menyalurkan hobi belanjanya. Tapi Bram suka ngeyel, akhirnya ragu dan baru menyesal. Yang terakhir dan membuat Bram frustasi--"

"Ma, Bram kesini akan mengenalkan Ayasha kepada Mama dan memohon doa restu mama. Bram sudah mengurus semua persiapan pernikahan". Jawab mas Bram dengan nada menahan emosi.

"Ayasha, beda dengan yang lain." Potong mas Bram.

"Beda dengan siapa? Kartika?" jawab mama Mas Bram.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang