part 7 (Petuah Bapak di Hari Bahagia)

126 11 0
                                    


Kuambil kardus dari dapur, lalu kembali masuk ke dalam kamar. Setelah mengganti sprei baru berwarna kuning gading bercorak tulip, dan meletakkan dua vas bunga di bagian ujung tempat tidur dan disamping nakas, kini ku duduk bersila tepat di pintu bagian terbawah almari, tempat ku menyimpan beberapa keping cerita masa lalu.

Kuletakkan kardus disampingku, membuka pintu almari, melihat tumpukan benda-benda istimewa di area privatku ini, yang memang dahulu khusus kuatur untuk meletakkan beberapa buku dan pernak-pernik selama masa kuliah disitu.

Satu per satu barang kuambil, kucermati dan kumasukkan ke dalam kardus. Satu buku usang, kumpulan puisi. Kubuka halaman demi halaman, aku hanya tersenyum simpul. Ada satu halaman dan sebuah foto wisuda, bukan fotoku tentunya.

Aku menyentuhnya, memandang wajah di foto itu beberapa saat. Sampai aku tak menyadari bahwa Bapak sudah ikut duduk di sampingku.

"Sudah saatnya kamu lupakan dia, kubur dalam-dalam perasaanmu itu Nduk!" suara Bapak mengagetkanku dan spontan kututup buku yang kupegang itu, dan memasukkannya ke dalam kardus disampingku.

"Nak Bram sangat mencintaimu, Bapak bisa merasakan itu."

Aku memejamkan mata, menahan kabut-kabut yang menghiasi mataku. Mengingatnya selalu menyeruak rindu, atau entah apa namanya rasa itu, aku ingin saja menangis. Sebuah pengharapan besar yang berujung kosong, itulah rasaku ketika mengingat semua kenangan tentangnya.

Tidak ada yang salah dari kata-kata Bapak, tetapi hanya saja aku merasa hal itu tidak mudah kulakukan. Aku kemudian merebahkan kepalaku di pangkuan Bapak, aku hanya ingin menangis.

Bapak mengusap kepalaku dan membiarkanku menangis. "Ini tangisan terakhirmu untuknya ya nduk," kata Bapak masih sambil mengelus kepalaku. Aku hanya mengangguk tanpa suara.

Sesaat menumpahkan tangisku, perasaanku menjadi lebih plong. Tetapi aku masih ingin bermanja di pangkuan Bapak. "Aya cuma pingin tahu kenapa Mas Hendi tiba-tiba mengakhiri seperti ini ya Pak, cuma itu."

"Tahu atau tidak sama saja, dia tetap saja bukan jodohmu cah ayu."

"Tapi kan Aya gak merasa digantung kayak gini to Pak, jadinya tu kayak hantu penasaran."

"Hapus nomer Hape-ne, buang foto-fotone!" titah Bapak.

"Percuma, lha kan Aya apal nomernya, Pak." Jawabku protes sambil duduk kembali. Beranjak dari pangkuan Bapak dan duduk disampingnya.

"Woiyo, kan anake Bapak ki buku telpon berjalan yo," Bapak terkekeh menimpali jawabanku sambil memukul keningku dengan genggaman tangan Bapak. Kalau orang jawa menyebutnya "dijenggung".

Aku kembali melanjutkan memilih barang-barang itu dan memasukkan ke dalam kardus, sembari merapikan almariku. Setelah selesai, kardus kubawa ke pojokan, menutupnya dengan taplak meja, dan memberinya satu vas bunga sedam malam yang tadi kuletakkan di samping nakas. 'Selamat tinggal kenangan,'harapku dalam hati.

Kamar sudah rapi dan wangi, semerbak sedap malam, bunga khas Grabag sudah mulai menghiasi kamar ini. Rumah sederhana ini juga sudah penuh bunga, tak hanya sedap malam, tetapi ada melati dan juga mawar.

*******************************

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayasha Nadia Putri binti Agung Priyambodo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 22,7 gram dibayar tunai."

Sayup-sayup dari kamar kudengar doa disenandungkan. Barakallahu laka wabaraka alaika wajamaa baina kuma fil khoir. 'Amiin, ya Allah bimbinglah hamba, tumbuhkanlah cinta di hati hamba untuknya, suamiku, lelaki terbaik yang engkau berikan untukku,' doaku dalam hati dengan segenap harap. Kumelangkah keluar kamar ditemani Lisa, setelah namaku dipanggil.

Kini tepat dihadapanku, ada sosok itu, lelaki tinggi tegap mengenakan jas berwarna coklat susu berkalung rangkaian bunga melati, nampak sangat gagah dengan senyum menawan mengulurkan tangannya. Kuambil uluran tangan itu, kuciumnya dengan takdzim meskipun jujur aku malu. Malu sekali malahan, berpasang mata menatap kami dengan keharuan.

Sesaat kemudian, ia pegang kedua pipiku dengan kedua tangannya, kembali ia melempar senyum termanisnya kepadaku dan kemudian ia pejamkan mata. Kudengar, pelan ia merapalkan doa. Lalu ia mendaratkan sebuah kecupan di keningku, beberapa saat. Ada rasa hangat menjalar di suluruh tubuhku. Aku hanya mampu mememejamkan mata, menahan deruan rasa haru dan syukur, aku hanya mengamini dalam hati dengan pengharapan sesungguh-sungguhnya.

Ia kembali tersenyum kembali padaku, meskipun ia sempat menyeka air mata dengan ujung tangannya. Akupun demikian, tak urung bisa kubendung air mata ini. Kami sama-sama menangis haru, semoga ini lah air mata bahagia.

Tangisku kembali tertumpah saat sungkem kepada Bapak dan Ibu. Entah mengapa aku hari ini menjadi cengeng sekali. Doa-doa yang Bapak dan Ibu bisikkan di telingaku, entah kenapa semakin membuatku tak mampu membendung air mata yang seakan menganak sungai.

"Hari ini, tugas Bapak selesai. Sekarang, surgamu, baktimu pada suamimu," bisik Bapak di telingaku yang semakin membuat dadaku terhimpit nyeri dan semakin membuatku tersedu dan hanya mampu menjawab dengan anggukan. "Lupakan semua masa lalu, Bram adalah jodoh yang terbaik dari Allah untukmu, bukan yang lain." Kembali aku hanya bisa mengangguk dan terus terisak.

Beranjak mendekati ibu. Ibu memelukku dengan erat.

"I-bu doa-kan, se-moga A-ya ba-ha-gia, A-ya pan-tas ba-ha -gia," dengan terisak ibu terus mendoakanku. Aku hanya bisa membalas pelukan ibu tak kalah erat. Aku tak mampu menjawab apapun, kecuali hanya dengan isak tangis yang kian keras terdengar. Ibu mengelus punggungku lalu melepaskan pelukan. "Harus sopan dan manut mertua, ayo sungkem sana," titah ibu kepadaku.

Kini aku tepat didepan mama Mas Bram. Aku menatapnya dengan ragu. Tapi Mama justru menggapai pundak dan lalu memelukku. Akupun memberanikan diri membalas pelukan Mama.

"Mama, minta maaf," Mama berkata dengan lirih. Akupun hanya mengangguk dan terisak. "Mama tidak benci Aya, Mama cuma takut kehilangan Bram, sa-tu sa-tu nya anak mama," Mama melanjutkan dengan tangis yang semakin kuat. Akupun kembali mengangguk. "Aya juga minta maaf, Ma." Aku tak mampu menjawab apa-apa lagi, aku hanya mengeratkan pelukanku. Ibuku ada dua mulai saat ini.

Acara akad nikah sekaligus walimatul 'ursy hanya dihadiri keluarga dan tetangga satu RT dengan tenda sederhana di depan rumah, dan bahkan tanpa kursi pengantin. Aku yang mempersyaratkan demikian dan hal lain yang telah kami sepakati bersama tentang konsep kehidupan pernikahan kami kedepan. Beberapa hal itu, semoga bisa menjadi jembatan bagi terjalnya perbedaan keluarga kami.

Aku dan mas Bram duduk berdampingan dan berbaur dengan semua keluarga dan tamu yang hadir. Acara inti selain akad nikah adalah pengajian yang diisi oleh Ustadz Hasan, yang masih kerabat mas Bram. "Pernikahan adalah ikatan yang sangat suci, bahkan mampu menggetarkan 'arsy-nya Allah. Pernikahan adalah ibadah terpanjang dalam hidup, yang tak lepas dari godaan syetan. Bahwa syetan tak henti-hentinya akan mengirimkan senjata pamungkas untuk mencerai beraikan pernikahan, itulah kenapa perceraian adalah adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT." Semua takdzim mendengarkan tausiyah Ustadz Hasan.

"Memilih pasangan yang utama adalah yang baik agamanya, bukan karena hartanya, wajahnya atau keturunannya. Saya yakin Mas Bram memilih Mbak Ayasha bukan karena cantiknya, ya anggap bonus saja kok kebetulan mbak Ayasha sudah agamanya bagus cantik pula," goda Ustadz Hasan kepada kami.

Mas Bram melirikku, ia memberikan senyum termanisnya dan lalu ia mencuri kesempatan, ia genggam tanganku, erat sekali. Seketika irama jantungku terasa tak beraturan. Bertalu tak menentu. 'Apakah ini yang dinamakan cinta?'

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Terima kasih yang sudah setia membaca kisah sederhana ini 😘😘

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang