Part 12 (Mas, Aku Rindu)

112 13 0
                                    


Aku hanya ingin memeluknya, entah dari mana keberanian itu tiba-tiba saja muncul, tak peduli berapa pasang mata memperhatikan.

“Hati-hati ya disana, banyak makan, biar gak kurus banget gini, nanti pulang udah gemukan ya!” goda mas Bram sambil memegang lenganku yang memang kecil ini.

Aku tersenyum pura-pura, padahal sebenarnya berat. Aku melambaikan tangan masuk ke Bandara Ahmad Yani. Bukankan ini salah satu cita-citamu? Hatiku menguatkan.

Satu jam perjalanan kuhabiskan dengan melihat sebuah foto yang sengaja kubawa dari rumah. Foto seorang laki-laki yang semakin hari semakin memesona. Matanya yang tajam, hidungnya yang mancung, ah sungguh kenapa melihatnya menyusupkan pilu, semakin lama memandangi, semakin berat membayangkan jarak jauh terbentang.

Ternyata ketakutanku selama ini tak sepenuhnya terbukti. Waktu itu, terbesit tanya apakah mampu membuka pintu hati untuk seseorang yang bahkan sangat sebentar dikenal? Sementara didalamnya masih ada satu ruang yang berisikan sebuah pengharapan untuk sebuah nama yang lain.

Tapi nyatanya, cinta yang disatukan atas ijin sang pembuat hati, semua akan mudah adanya. Bahkan belum genap satu hari, hati ini sudah tak karuan. Percaya saja cinta dan rindu adalah sesuatu yang bisa ditumbuhkan, cukup percaya saja pada yang maha menyatukan.

Tiba di sebuah rumah bertuliskan khusus kost muslimah, bernuansa hijau pupus yang dihiasi beberapa pot tanaman. Pepohonan itu rapi berjejer di teras.

Belum sempat mengetuk, pintu sudah terbuka. “Ini Neng Ayasha atau Neng Ova?” tanya ibu berdaster merah dengan ciput menempel di kepalanya.

“Saya Ayasha bu.”
“Masyaallah cantik sekali, lebih cantik dari Desi Ratnasari.” Aku hanya tersenyum dan mengikuti Ibu kost menuju kamar. Namanya Ibu Tuti Martuti.

Bu Tuti teman ngobrol yang asyik. Beliau menyampaikan akan ada beberapa orang yang akan mengikuti kelas Inggris dari beberapa daera, salah satunya dari Semarang juga.

Kost ini merupakan kost turun temurun dari peserta kelas penguatan bahasa Inggris dari tahun ke tahun. Saya juga mengetahui nomor bu Tuti dari mbak Widya yang sudah berangkat Tahun lalu. Memang benar, kost ini sangat nyaman. Bu Tuti juga memiliki warung makan, jadi sangat memudahkah kami yang berangkat pagi hingga petang.

Kurebahkan tubuh, menatap langit-langit. Menoleh ke kanan kekiri. Terasa ada yang kurang. Merindu sosok akhir-akhir ini selalu ada di sebelahku.

Sosok yang selalu bisa mencairkan kekakuanku dengan memberiku pelukan yang hangat. Lalu malu-malu aku mencuri dengar degub jantungnya yang mendamaikan. Ah kenapa rindu sedemikian menyiksa. Ternyata begitu mudah jarak menumbuhkan rindu.

Suara dering telepon berbunyi. Layar birunya mengerjap berkali-kali. Tertera nama itu, pangeranku. Kutekan tombol hijau.

“Assalamualaikum, Mas…”
"Waalaikumussalam, sayang.”
Aku tersenyum sendirian. “Makasih ya Mas Hpnya, aku suka. Akhirnya aku punya. Aku suka banget!”

“Sama-sama, lumayan juga sama providernya jadi irit buat telpon. Mau berjam-jam juga ayok. Buat latihan kalau besok pulang, berjam-jam juga ayook..” Di seberang sana terdengar ia terkekeh.

“Ihh mulai, hobi kok bilang saru (tabu).” Jawabku ketus.

Terdengar ia tertawa lepas lagi. Mengalir cerita hari ini. Rindu katanya. Suara yang semakin membuat aku pingin pulang. Ah sial.

Kulihat gawai di genggaman. Mas Bram membelikan gawai baru sebelum berangkat ke Bandung, kembar dengan miliknya. Kala itu mas Bram bertanya saat melihat hp Siemens A55 milikku yang sudah tak karuan bentuknya. Tapi ini kubeli dari honor mengajar pertamaku, dan kembar dengan Lisa.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang