Part 8 (Tragedi Malam Pertama)

170 9 2
                                    


Hajatan di kampung akan melibatkan hampir semua tetangga. Para ibu dan remaja putri sibuk memasak di dapur, para bapak sibuk berjaga dan melengkapi kebutuhan-kebutuhan seperti memasang tenda serta para remaja laki-laki bertugas sebagai sinoman, bertanggung jawab dalam hal transportasi jamuan dari dapur menuju meja-meja para tamu. Mereka khusyuk dengan tugasnya masing-masih dengan penuh suka cita.

Menu khas dalam jamuan pernikahan di desa yang disiapkan adalah sepiring nasi dengan sayur daging giling, oseng-oseng krecek, ditambah dengan acar, kerupuk udang dan sambal ditambah beberapa jenis makanan penutup yaitu sup buah dan agar-agar. Acara usai sekitar pukul sembilan malam.

Aku dan Mas Bram bersama Bapak Ibu serta Mama dan Papa berdiri di halaman rumah, bersalaman dengan semua kerabat dan tetangga yang hadir. Esok mereka akan kembali, membereskan tenda dan segala keperluan yang telah dipakai hari ini.

Suasana pedesaan dengan keringantanganan para tetangga itulah sejatinya sebuah pelajaran hidup. Bahwa tetangga adalah keluarga terdekat kita. Mungkin inilah yang selalu membuatku kangen rumah dan segala pesona ndeso-nya.

Setelah selesai menunaikan sholat berjamaah sunah dua rakaat, bersama menguntai doa untuk memulai perjalanan hidup ini, aku dan Mas Bram kembali ke halaman rumah mengantarkan keluarga besarnya yang akan kembali ke Temanggung. Sepeninggal keluarga besar Mas Bram, kami duduk di tangga depan rumah, Mas Bram, aku, dan Lisa disebelahku--ia menginap malam ini. Suaminya tak bisa ikut serta, ada dinas di Jakarta. Langit Grabag menghembuskan dinginnya angin yang terasa menusuk.

"Tumben dingin banget," kataku sambil melongok menatap langit yang penuh bintang bertebaran.

"Kan udah ada selimut, ciee," goda Lisa spontan.

Aku menengok kearah mas Bram yang tersenyum simpul mendengar celotehan Lisa. "Mas, gak usah didengerin, Lisa emang gini." Sambil kumiringkan ibu jariku di kening. "Kurang sak strip," tambahku.

Lisa justru terpingkal mendengar penuturanku. "Mas, tapi asli aku bersumpah, sebagai saksi hidup, ini ni, adalah satu-satunya teman saya yang kalau dikampus tu puinter banget, tapi dalam kehidupan sehari-hari dia itu menjelma jadi makhluk tercupu, terlugu yang saya kenal, Mas. Jadi yang sabar, ya Mas. " Lisa terkekeh sambil menunjuk diriku dengan telunjuknya.

"Dulu to mas, pas booming ada ada video saru (tidak senonoh), jaman kita kuliah, anak-anak kost dapet pinjeman video tu. Kalau saya cuma penasaran sih, itu istri njenengan itu, kabur dia, masuk kamar dan pura-pura tidur." Lisa masih terus bercerita dan aku hanya bisa pasrah sambil berpangku tangan.

"Terus-terus,"Mas Bram malah makin penasaran.

Lisa masih dengan tak berdosa tertawa menceritakan kejadian itu."Tak buka pintu kamarnya, tak ajak, mau bagi-bagi dosa ceritanya, dia jawab apa coba Mas?"

Lisa membenarkan posisi duduknya masih dengan berapi-api. "Kalau pas nonton itu tiba-tiba malaikat pencabut nyawa datang, trus gimana?" Nada bicara Lisa berubah menjadi serius, menirukan nada bicaraku kala itu.

"Aku cuma diem, ngeiyain sih dalam hati. Iya kalau pas nonton serangan jantung, haduh neraka di depan mata. Ya udah, trus aku ikutan balik kamar dan tidur. Sebenarnya salut sih sama anak ini. Cupu yang kuat iman." Lisa masih melanjutkan dengan terkekeh santai.

"Kupikir, setelah menikah akan berkurang, ternyata enggak," Lisa masih terus meracau. Mas Bram mendekat disampingku dan beralih duduk miring ke arah Lisa sehingga kakinya kini beradu dengan kakiku. Spontan aku menarik kakiku dan naik untuk duduk pada satu tangga di atas tangga yang diduduki Mas Bram.

"Nah iya kan, tu tu! omaigaaad." Lisa semakin terpingkal melihatku yang salah tingkah. Lebih menjadi salah tingkah lagi ketika justru Mas Bram meletakkan dagunya di pahaku.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang