Part 14 (Sebuah Pertemuan tak Terduga)

92 12 1
                                    

Moderator mempersilahkan satu orang penanya lagi. Kali ini duduk di bagian belakang.

“Assalamualaikum mbak Ayasha.”

Aku tak bisa melihat dengan jelas sosok yang berdiri disana, tetapi suara itu! Ya, suara yang sangat kukenal bertahun tahun lamanya. Tapi jujur, saat ini aku sedang tidak ingin mendengarnya. Sungguh!

Menarik nafas panjang, menghembuskan kembali, berulang-ulang sambil mencerna kata-kata yang terdengar yang dipenuhi dengan kecamuk rasa. “My name is Hendi from Indonesia. I’m very interested in your study. Indeed, that is a big problem that should immediately solved in Indonesia. What is the best recommendation for Indonesian people?”

Entahlah kalimat apa yang terluncur dari bibir ini untuk menjawab pertanyaan tersebut, kadang dalam situasi seperti semua seolah diluar kendali. Tetapi riuh terdengar tepuk tangan dari para audiens.

Moderator menutup acara, dan mengumumkan acara selanjutnya adalah gala dinner sekaligus pemberian penghargaan pada para peserta dan presenter terbaik. Akupun segera kembali ke tempat duduk.

Mengemasi barang-barang yang ada di kursi, dan entah tak ada rasa lapar yang menyerbu, padahal biasanya setelah presentasi anaconda di perut membabi buta. Tanganku terasa sangat dingin, rasanya hanya ingin segera pergi dan menghilang dari tempat in. Ya, andai saja awan kinton bisa kusewa. Berkali-kali mengaduh atas perasaan yang semakin tidak karuan ini.

Segera beranjak, menuju tempat sholat. Tak melihat kanan dan kiri, segera berjalan secepat hanya ingin segera sampai, kurasa inilah tempat yang paling tepat kudatangi.

Meletakkan tas di tempat sepatu, lalu mengambil air wudhu dan segera bergegas masuk ruang sholat yang tak seberapa luas ini. Duduk, sambil menata hati ‘lahaula wala quwwata illa billah’ tak terhitung berapa kali terucap dan terus terucap.

Ruang sholat yang cukup sepi, memang tidak banyak sepertinya peserta dari Indonesia. Dan menurut panitia ada beberapa tempat yang bisa digunakan untuk sholat.

Hati sudah mulai tenang, ingin segera sholat. “Astagfirulloh,” pekikku menyadari tas yang tadi kubawa masih tertinggal di luar, seingatku kuletakkan di atas rak sepatu sebelah luar kamar mandi sekaligus tempat wudhu. Selain mukena ada banyak berkas termasuk paspor disana, tapi juga tas yang sudah bak pahlawan dalam perjalanan hidupku. Ya tas yang sudah kupakai sejak kuliah dulu. ‘Ayasha..ayasha kapan kamu sembuh pelupanya,’ batinku menggerutu. Segera beranjak dan melangkah keluar dari ruangan.

Tepat disaat menapakkan kaki satu langkah, “ini tasnya ketinggalan.” Sosok itu mengulurkan tas persis di depanku. Aku mengerjap berkali-kali, rasanya seperti dejavu.Kejadian malam itu, yang menjadikan malam-malam setelah itu terasa lebih indah. Tapi untuk saat ini, jujur aku tak ingin ada kejadian itu.‘Ya Allah tolong aku,’ pintaku bertubi-tubi.

“Makasih,” jawabku sambil berbalik masuk kembali masuk ke tempat sholat, menarik nafas dalam menghembuskan berkali-kali. Membuka tas, dan segera mengenakan mukena. Kembali menata debar jantung yang terasa berloncatan tak terkendali. Sungguh aku ingin mengumpati diriku sendiri ini. Dengan perasaan yang terlalu tak tahu diri ini.

“Mau makmum?” Suara itu kembali mengagetkanku ditengah upaya diamku mengendalikan semuanya. Tak ada pilihan lain selain mengangguk.

Aku kembali menjadi makmum dengan sosok ini, sosok yang hampir selalu ada di doa-doaku kala itu, agar ia kelak yang akan menjadi imamku. Ya Allah mohon maaf jika sholatku kali ini sungguh jauh dari kata tumakninah. Mencoba mengeja makna satu persatu doa yang kulafalkan, tak ingin mengingat siapa yang sedang berdiri di depanku.

Tetap khusu’ dalam doa, sejujurnya bingung harus bagaimana. Membuka percakapan berarti membuka luka lama, tetapi bukankan selama ini hanya ingin sebuah jawaban yang pasti mengapa ia tiba-tiba pergi. Toh aku sudah bisa menyimpulkan dari crita Ova bukan? Ah, apa pentingnya juga buatku saat ini.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang