Part 2 (Masih Rindu)

185 21 3
                                    


Yang udah like makasih. Biar ikut doakan Ayasha kuat.

************************************

“Kemana aja, dari tadi gak keliatan”, sapa Lisa yang tiba-tiba sudah melongokkan kepalanya di atas sekat ruang kerjaku.

“Dipanggil pak Dekan”jawabku singkat.

“Gak ada kelas siang kan, yuk ke kantin. Udah laper”.
Aku mengangguk dan kami beriringan menuju kantin kampus.

Seperti biasa, jika tak ada kelas praktikum siang, maka sering kami menghabiskan waktu berlama-lama di kantin. Lisa adalah sahabat karib semenjak kuliah. Dialah tempatku selama ini bercerita.

“Tumben dipanggil pak Dekan, ada apa?” tanya Lisa sambil menyeruput jus alpukat favoritnya.

“Diminta berangkat kelas persiapan Bahasa Inggris yang tiga bulan itu”.

“Cieeh, Amsterdam di depan mata nih. Tapi kok lesu, harusnya semangatlah”. Goda Lisa.

“Eh minggu lalu tu gimana ceritanya kok Mas Hendi bisa datang ke rumah sakit?”.

Aku mengalihkan ke topik yang sebenarnya kuingin tahu, tapi seminggu ini kelasku penuh sehingga belum sempat mendengar cerita itu dari Lisa. Dan apa yang terjadi tadi malam, benar-benar membuatku semakin penasaran.

“Ya aku paniklah, kamu pingsan gitu, ya udah kuambil hpmu trus kucari. Gak nemu nama Hendi, tak cari lagi, eh nemu dr. H, trus kutelpon. Eh bener, eh orangnya datang, eh ganteng banget, pantesan bikin si anak gunung ini kayak kesetanan isinya tiap hari cuma belajar dan belajar dan kayak kena kutukan dewa cinta, kayak di dunia ini cowok cuma dia seorang. Pediiih”. Cerocos Lisa disertai tawa lepasnya.

Kuarahkan tisu kecil , kulempar ke muka Lisa, ia mengindar dan ia justru semakin menjadi sambil terus mengunyah.

“Aku tu jadi ingat waktu ayah bundaku haji, kamu nitip doa, kamu tulis di amplop pink, lalu kamu bilang ke Bunda untuk buka dan baca di tempat yang paling mustajab. Sori dori mori ya sis, tu amplop ketinggalan, lalu Bunda minta aku kirim sms apa isinya. Suwer aku ngirim sms, sambil ngakak dan ngenes. Ya Allah jika Mas Hendi jodohku…” Lisa tak lagi melanjutkan. Karena aku segera beranjak dari tempat dudukku dan membekap mulut Lisa. Sambil membisikkan ancaman ditelinganya.

“Trus, selama di rumah sakit dan aku pingsan tu, dia ngapain aku” potongku.

“Ihh ngarep, emang kamu pingin dikapakke” (mau diapain). Lisa kembali terpingkal pingkal mendengar pertanyaanku.

Kembali kuambil tisu dan kulempari wajahnya.

“Serius pliss” pintaku pada Lisa.

“Ya dia dikasih tahu macem-macem sama dokternya, aku gak ngertilah. Trus dia nanya ke aku, tentang bapak ibumu, kenapa gak dihubungi. Ya kujelasin lah kalau kamu sebatang kara, anak tak terurus”. Jawaban Lisa sambil mengunyah batagor yang ia pesan dengan wajah tak berdosa.

“Enak aja, aku punya orang tua yo. Dasar cah gemblung, ngopo mbok critakke barang.(kenapa kamu ceritakan). Duh Gusti, cen susah duwe konco ember (memang susah memiliki teman ember)” Sambil kututup mukaku.

‘Apakah karena itu, mas Hendi memutuskan tidak memilih menjalin cerita hidup bersamaku? Ah Entahlah’

“Wei, kamu aja tahu detil dia kayak apa, keluarganya gimana, berapa jumlah adiknya, lha ya mikirku kamu yo juga cerita to ke dia gimana keluargamu. Dan itu harusnya gak jadi masalah, kalau memang cinta ya bisa menerima kekurangan kamu to?. Janganlah bikin gadis anak orang dengan IPK 3.98 kayak orang linglung cuma mikirin dia terus, sementara yang dipikirin embuh. Laki-laki tu gentle, koyo bojoku. Nembak langsung ngajak nikah. Kalau gak bisa yo ndang mundur(segera mundur).”, Lisa kembali menjelaskan sambil terus meracau tentang suaminya.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang