Part 3 (Perjuangan Hidup)

130 15 3
                                    

Grabag sore ini terasa cukup dingin. Cukup lega semalam suntuk bercerita ngalor ngidul dengan ibu. Tadi pagi juga menyempatkan belanja tahu di pasar grabag, salah satu makanan yang paling kurindukan ketika pulang.

Ibu juga sudah tahu kondisiku setelah menemaniku periksa dan mendengar penjelasan dokter saat periksa di RST dr. Soedjono Magelang tadi siang. Setelah memeriksa USG, dokter memberikan obat untuk mencegah nyeri khususnya saat haid dan mengurangi perkembangan endometriosis.

Dokter menyampaikan bahwa jika memungkinkan tidak menunda kehamilan. Dan jika sudah menikah dan satu tahun tak kunjung hamil nanti akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. ‘Semoga segera Allah kirim lelaki terbaik. ’ pintaku dalam hati.

“Ibu jadi masak lompong? Aya bantu apa bu?”

Tanyaku pada ibu yang sedang asyik memotong batang talas yang akan dimasak. Aku menyebutnya jangan lompong, sayur favoritku ketika pulang, jika dicampur dengan rese dan tempe semangit yang dimasak dengan menggunakan tungku tanah liat menjadikan sayur lompong yang enaknya tiada duanya di dunia.

“Daden geni aja nduk. Itu blaraknyadiluar. ” titah ibu kepadaku.

“Dokter Alita tadi nyenengin banget ya bu, cantik, ramah, pintar.”
Ucapku sambil sambil memasukkan beberapa blarak agar api menjadi lebih besar. Aku masih terkagum, betapa sempurnanya dokter obsgyn yang tadi memeriksaku.

“Iya. Koyo sampean to nduk. Ayu, pinter.” Ibu malah memujiku.

“Welaa, anaknya siapa dulu to.” Balasku terkekeh.

“Ibu ki bersyukur tenan nduk, ibu bisa punya anak koyo sampeyan. Pokoe ibu bersyukur banget. Kamu yo kudu pinter-pinter bersyukur Nduk. Apa yang kamu pingini, iso dituruti gusti Allah.Umpama ibu ditanya orang apa tetangga liat kamu sekarang, ibu bisa menjawab dengan lantang, bagaimana kamu berjuang untuk mewujudkan cita-citamu itu Nduk”. Balas ibu penuh petuah.

Ibu kemudian menceritakan jaman dahulu, pada waktu belum ada listrik masuk ke desa, harus menghidupkan lampu teplok tiap sore, membersihkan semprong-nya. Nanti pagi hidungku ingusan terkena asap lampu teplok yang dipasang di kamar. Aku juga harus menimba air sumur di belakang rumah dan membawa ember-ember itu ke kamar mandi setiap kali akan mandi karena belum ada pompa air listrik. Atau kadang malah mandi disungai jika lelah menimba air. Aku tersenyum mendengar cerita itu, masih jelas di ingatan masa-masa itu.

“Iya, Aya bersyukur bu. Aya ingat banget masa-masa itu. Tapi waktu itu Bapak Ibu masih rukun gak kayak sekarang. Aya tu sedih lho Bu. Ibu kalau marah sama Bapak itu mengerikan lho.”
Jelasku pada Ibu masih sambil jongkok di depan tungku memastikan api tetap menyala.

“Bapakmu itu atos, ibu cuma pingin nek tambah tua itu ya tambah mendekat sama Gusti Allah, tambah ibadahnya, laki-laki itu sholate ya di Masjid. Banyak waktu Bapakmu itu terbuang ndak manfaat.” Jawab ibu sambil memasak dengan lihainya.

“Kalau tujuan ibu baik, ya harus menggunakan cara yang baik to bu. Nek pakai marah-marah ya malah dosa. Eman-eman ibu sudah rajin ibadahnya, tapi kalau marah-marah malah hilang lo pahalanya.” Jawabku dengan halus, takut ibu tersinggung.

“Bapakmu sudah ndak bisa dengan cara yang halus, tur ibu wis kesel. Bapakmu angel berubah. Ibu sudah berkorban banyak demi keluarga, tapi apa Bapakmu itu ndak pernah bisa berterima kasih. Malah semakin menjadi.” Ibu kembali menjawab dengan nada emosi.

Kali ini aku menyerah. Entahlah, sebagai anak bawang dalam kehidupan berumah tangga aku tak layak berkomentar terlalu banyak. Takut kualat. Meskipun sebenarnya sangat sedih dan kangen Bapak.

Aku tahu Bapak menyimpan beban berat dalam hidupnya. Entah apa itu aku juga tak ingin tahu. Tapi Bapak itu baik, baik banget malah. Seingatku, seumur hidupku Bapak belum pernah memarahiku.

Berbeda dengan ibu yang cenderung perfeksionis, sehingga ibu lebih cerewet. Namun demikian, Ibu selalu menemaniku belajar, menyiapkan makanan-makanan kesukaanku meskipun lelah mendera. Buatku, Ibu itu sosok yang luar biasa dan teman ngobrol dan curhat yang super nyaman. 

Tapi entah kenapa ketika dengan Bapak masalah kecil bisa menjadi besar. Sehingga itu membuatku sangat tidak nyaman, ketika mereka sudah berdebat maka akan berujung pada pertengkaran sengit.

Saat itu terjadi, rasanya ingin bisa memangil awan kinton, pergi dari rumah dan berkeliling langit grabag sampai pertengkaran mereka usai. ‘Tapi sudahlah lebih baik mengganti topic pembicaraan. Biar aman.’ Batinku.

“Terus Aya gimana bu? Cintaku hilang lenyap ditelan bumi. Boro-boro mau nikah, yang deketin aja pergi hiks hiks.” Kugoda dengan nada pura-pura menangis.

“Pasrah sama Gusti Allah nduk, biar Allah yang paringi jalan. Ibu juga akan terus doakan untuk kebaikan Aya.” Jawab ibu.

Aku hanya mengangguk. Sejak empat tahun lalu, doa tak luput kupanjatkan. Kalaupun akhirnya seperti ini, mungkin ia bukan yang terbaik untukku. ‘Ah tapi tak semudah itu.’

“Ojo ngalamun, iki wis mateng. Meh maem dulu po magriban dulu?’ Sapa ibu membuyarkan lamunanku.

“Inggih, bu sholat dulu mawon.” Jawabku singkat.

*********************

Makanan sudah tersaji di meja makan. Nasi mengepul hangat. Sayur lompong, tahu goreng khas Grabag dan kerupuk. Menu makanan ini lebih istimewa bagiku dibandingkan apapun.

Ketika aku menarik kursi, tiba-tiba terdengar pintu dibuka. Aku melangkah keluar, dan ternyata ada sesosok yang kurindu, Bapak. Aku memanggilnya dan kemudian memeluknya.

“Ayo pak dhahar (makan).”Kataku sambil kutarik Bapak menuju meja makan.

Begitu Bapak tiba di meja makan, ibu kemudian berdiri dan siap beranjak dari kursinya.

“Ibu, plis.” Kataku memohon.

Kemudian ibu duduk kembali. Aku mengambil nasi, sayur dan lauk untuk Bapak, kemudian Ibu. Kuletakkan di depan beliau berdua. Sambil kupegang pundak keduanya penuh makna. Kuberharap malam ini bisa makan malam bersama dengan hangat, itu saja. Dan mereka menurut, tak ada yang bereaksi ‘menolak’.

Aku tersenyum melihat Bapak dan Ibu duduk meskipun dalam hening. Dan kini ketika melangkah mengambil piring, terdengar suara pintu diketuk, kemudian hening dan kembali terdengar suara ketukan pintu yang lebih keras.

Aku kemudian melangkah keluar, kubuka pintu. Aku terpaku, kaget melihat siapa yang berdiri tepat di depanku. Jantungku berdetak tak karuan.

🌺🌺🌺 🌺🌺🌺 🌺🌺🌺

Yang datang siapa ya? Haduh haduuh jadi deg-degan.

Daden geni
Menyalakan api di tungku dengan menggunakan kayu bakar atau daun-daun kering

Rese
Teri kecil dan lembut yang biasa dicampur dalam sayur

Tempe Semangit
Tempe yang dibiarkan menjadi lebih matang

Blarak
daun kelapa yang sudah tua

Lampu teplok 
lampu pijar tradisiional yang menggunakan sumbu dan minyak

Semprong :  kaca pelindung lampu teplok yang harus dibersihkan karena biasanya warnanya kehitaman terkena asap

Makasih yang sudah berkenan membaca cerita sederhana ini. Like n komen ya, biar bikin mamak tambah semangat nulisnya 🥰🥰🥰

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang