Part 15 (Ternyata, cintaku tak bertepuk sebelah tangan)

100 11 2
                                    

Melawannya saat ini bukanlah opsi yang terbaik. Karena akupun sebenarnya takut jika harus berjalan sendiri ke hotel. Memaksa memasukkan potongan cumi dan udang itu tanpa suara, hanya ingin segera habis.

Dan meninggalkan semua mimpi ini. Mimpi yang saat ini benar-benar nyata. Aku duduk sedekat ini, dengannya.

Laki-laki yang membuatku menutup hatiku rapat-rapat untuk siapapun, sebelum akhirnya ia sendiri yang memaksa keluar dan pergi.

“Tak ada sesuatu yang kebetulan dalam hidup. Demikian juga pertemuan kita ini.” Suara berat itu kembali kudengar, sambil terus mengunyah. Hening kembali.

“Sini kubantu”, satu sate cumi yang masih berisi dua potong besar telah berpindah tangan. Ia mengambilnya begitu saja.

“Kamu masih sama aja, makannya lama!” Ia memasukkan dua potong cumi itu dengan cepat, lalu kembali hening, hanya terdengar suara gigi beradu.

Sempat memandang wajah itu sebentar, lalu buru-buru kualihkan. Kembali menatap gemerlap lampu nan jauh itu.

Hatiku tetap saja tak karuan. Tak pernah ada dalam bayangan, akan bertemu dengannya kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, jauh sekali, ya bahkan bukan di Indonesia.

Aku beranjak pelan dengan memegang satu tusuk sate yang masih ditangan untuk membuangnya, kembali tiba-tiba ia mengambilnya dari tanganku kemudian melangkah dan membuangnya.

Aku mengambil tisu dari tas, membersihkan tangan. Ia kembali duduk di sampingku, menyodorkan tangannya.

Kuberi tisu basah, seperti biasanya. Kebiasaan saat kami makan malam bersama. Dan kembali menyodorkan tangannya, kali ini tisu kering. Dan aku begitu saja melakukan, seperti robot yang sudah terinstal. Memang payah!

“Udah habis, aku mau pulang ke hotel” pintaku sambil menunjukkan kedua tanganku.

“Kamu marah?” Mas Hendi memperbaiki posisi duduk, menghadapku.

“Aya,” panggilnya lagi, melihatku yang hanya menunduk terdiam.

Kuangkat wajahku, tepat melihat sorot mata itu. ‘Ya Allah, tolong kuatkan aku.’

“Kamu marah?” kembali kudengar pertanyaan itu.

Kutatap wajah yang saat ini begitu dekat dihadapanku, dengan sisa kekuatan hati yang kumiliki.

“Marah? Buat apa? Gak ada gunanya kan? gak akan merubah apapun, gak--” jawabku, tercekat, kembali kualihkan pandanganku. Ternyata kekuatan hatiku belum sekuat harapan, menghadapi sorot wajah ini persisdidepanku seperti ini.

“Aya, kata-kataku malam itu, pasti sangat menyakiti hatimu!” ia berkata, lirih.

Aku tetap saja mengalihkan pandangan, mencoba mengatur deru nafas yang tak beraturan. Mencoba membendung netra yang sudah mendesak basah.

“Aya,” panggilnya lagi.

“Marah saja, pukul aku kalau perlu, biar beban ini hilang!” Kulihat dari ujung mata, ia menunjuk dadanya.

Kuhela nafas, menengok dan kemudian menatapnya lagi.

“Njenengan yang pingin aku pergi, aku udah pergi kan? Dan sekarang njenengan temui aku seperti ini, maunya njenengan apa? Udah cukup empat tahun njenengan buat aku--.” Aku sudah tak mampu meneruskan.

Barisan kenangan yang selama ini terjejer dalam harap satu-satu berkelebat. Memunculkan kecewa yang mendalam. Aku tak ingin menangisinya lagi, tapi kali ini aku tak mampu.

Betapa ia selalu kuharap dalam doa, tetapi…aku sungguh tak tahu, mengapa harus bertemu dengannya lagi dengan keadaan yang seperti ini. Aku terisak, tak mampu meneruskan kata-kata lagi.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang