Part 9 (Menyemai Indahnya Cinta)

137 12 1
                                    


Udara Grabag pagi ini masih sama, dinginnya menembus tulang. Embun bertebaran kesana kemari. Sepoi-sepoi angin terasa membelai wajah dan tubuh meskipun telah terbungkus jaket. Mas Bram membawa motor Bapak dengan santai, ia menarik tanganku melingkarkan di perutnya. Aku tak bisa menolak karena tanganku masih saja ia genggam. Ada rasa hangat menjalar di relung hati. Semoga ini menjadi awal yang baik.

Setelah semalam berakhir dengan tragedi pembalut. Mengingatnya benar-benar membuatku malu setengah mati. 1-0 untuk Mas Bram. Sepertinya semesta memihak padanya.

Kini kami tiba di Candi Umbul, tak berniat untuk mandi, Mas Bram yang penasaran dengan cerita-ceritaku tentang candi umbul. Setelah mendapat lokasi yang tepat, Mas Bram memintaku menggulung celana panjang untuk ikut merendam kaki. Sudah terasa lebih hangat. Mas Bram tersenyum dan nampak menikmati.

Mas Bram mengayun-ayunkan kaki, Sesekali ia ganggu kakiku. “Kamu sering kesini, Dek.”

Aku mengangguk. Mas Bram menatapku dan kembali tersenyum. Sorot matanya yang tajam kali ini terasa sampai ke dalam hati. Senyum yang merekah, mempercepat debaran di dada, terasa semakin bertalu. Meskipun jujur, aku masih malu sekali.

“Mas, kok liatin aku kayak gitu, aku tu malu,”jawabku sambil menutup mukaku.

“Beneran deh, Dek. Kamu tu lucu banget lho, dari semalam. Wajahmu kalau malu gitu jadi merah semakin membuatku ehhmm--” goda Mas Bram.

“Kan kita udah bahas ini, Mas janji lho ya,” potongku.

“Okey siaaap, kita pacaran dulu,” Mas Bram bergaya hormat, mengulangi kata-kataku tadi malam, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik, “tapi Dek Aya juga coba, biar malunya pergi pelan-pelan. Nanti mas kasih tahu deh caranya. Langkah pertama, nanti sampe rumah di Semarang Dek Aya lepas--”

Spontan aku mencubit lengan Mas Bram.  ia mengaduh kesakitan.

“Lepas jilbab sayang, kan disana sumuk (gerah)”, lanjut mas Bram masih sambil mengelus lengannya.

“Sebenarnya ada kejadian yang bikin saya jadi agak takut dengan laki-laki, Mas.” Aku berusaha membuka percakapan tentang ini. Cerita masa lalu yang cukup membekas pilu.

“Kala itu waktu kelas 2 SMP, aku ikut  study tour ke Pantai Pangandaran. Tepat sebelum shubuh rombongan kami sampai. Kami antri untuk mandi dan bersiap sholat. Sesudah mandi, masih dalam gelap, aku dan teman-teman menuju Mushola.” Aku menghela nafas untuk melanjutkan ceritaku.

“Aku kan berdiri paling pinggir  di sebelah kanan, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tak kulihat jelas wajahnya, menyentuh dadaku dengan begitu kerasnya. Malu, sedih, campur aduk. Kejadian itu terjadi sangat cepat, bahkan teman-temanku tak ada yang melihat kejadian itu. Tak  ada saksi mata, aku pun tak bisa melihat pelaku dengan jelas. Aku hanya bisa menangis melindungi dadaku dan terus berjalan menuju Mushola.”

“Sepanjang hari, aku bahkan hanya diam. Teman-temanku mengira aku sakit karena aku tak seperti biasanya.”

“Hingga sekarang ini, aku masih saja merasa takut dengan laki-laki yang baru kukenal, Mas.”

“Kalau aku tahu orangnya, akan kuhajar sampai habis.” Mas Bram memandangku dengan serius diliputi amarah yang menderu.

Lega sekali aku akhirnya berani bercerita tentang trauma ini. Tak pernah kuceritakan ini sebelumnya kepada siapapun. Terlalu sulit untuk menghilangkan ketakutan yang tiba-tiba saja muncul ketika dekat dengan laki-laki yang baru kukenal. Tapi, kondisinya kan berbeda, Mas Bram suamiku. Ya, suamiku, dan aku harus mampu melawan rasa malu dan takutku ini.

Sebenarnya, ketakutan ini sudah mulai menurun kadarnya dibandingkan dahulu. Dan jujur, Mas Hendi yang pelan-pelan mampu merubah persepsi buruk itu. Padahal ia tak pernah tahu cerita ini.

LELAKI TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang