HUJAN YANG TERLALU LAMA

10 1 0
                                    


Seperti ini ketika rintik air membasahi pipi, turun mengalir saat rindu mengikat diri. Bukan berarti jiwa ini lemah setelah melihatnya pergi. Kamu yang jauh di sana, mungkin akan mengira jika aku tertawa karena ingin kuat, tetapi semua pikiran itu salah.

Tidak ada harapan lagi ketika langkah kakinya berlahan meninggalkan celah air di sepanjang jalan.

"Aku tidak mau terus berharap darimu, " ucapku, "aku ingin berhenti mencari. "

Lebat hujan masih belum mau mereda. Ku harap dengan menepikan diri akan membuat hatiku sedikit lebih tenang. Tidak seperti sekarang yang terus merasakan dingin tanpa suatu tujuan.

Langkahnya pergi semakin jauh dan masih kurasakan bau dari parfumnya,  yang beraroma teratai, menurutku dia adalah segalanya. Sang rembulan yang siap menjadi pendamping Sang matahari.

Mataku perih, tubuhku jatuh tersungkur dan hanya bisa ku lihat tubuhnya yang kian menjauh.

"Kamu janji, tidak akan pergi, " isakku.

Hati dan pikiran seolah beradu menjadi satu. Tidak tahu siapa yang salah dalam hal ini, dia datang merayuku dan aku memberikannya harapan itu, hingga aku yang harus menjadi hujan di tengah malam yang sangat panjang.

Hujan itu menghapus air mata dengan airnya. Membuat setiap luka dan tangisku menghilang bersama detik-detik perpisahan.

"Aku kecewa. "

Bahkan ketika angin datang lebih kencang atau petir yang menyambar, aku tidak tahu hal apa yang mesti aku takuti.

***

Ketika pagi datang, masih ku dengar suara dari melodi yang sangat khas. Tetesan air hujan yang jatuh dengan aroma dingin yang istimewa, masih membawaku dalam ingatan kecil tentangmu. 

Seorang pria yang aku cintai, pria yang sangat penting untukku. Dia cinta pertamaku dan aku ingin hidup dengannya.

Aku berusaha bangun dari tempat tidurku dan mengambil ponsel, aku lupa untuk mencabut charger nya.
Masih kutatap layar ponselku dan aku nyalakan data seluler berharap akan ada yang mengajakku berbicara.

"Hm, apa sey sibuk ya? "

Kulihat akunnya masih aktif, tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak memberikan kabar apapun.

"Jangan-jangan dia marah? "

Aku berusaha menyingkirkan pikiran negatifku dan bermain game di akunku.

Tidak lama setelahnya, aku mulai merasa bosan dan kesepian.

"Kuharap dia chat, " pikirku.

Aku mengenal sey, salah satu pria yang muncul setelah ketakutan panjangku. Aku sempat trauma pada setiap pria setelah kejadian itu, kupikir untuk mengakhiri cerita ini, aku sudah tidak berarti.

Okta mengenalkan aku padanya, pria yang jago melukis dan pintar juga menulis. Aku berada dalam bidang yang hampir sama, walau okta terus menganggap aku dan sey memiliki kesamaan. Tetapi tetap saja ini berbeda.

Okta juga teman literasiku, aku bertemu dengannya sewaktu mengikuti event kecil-kecilan untuk pertama kalinya.
Kami akrab dengan saling membantu, tapi aku masih berusaha mengendalikan perasaanku, dan berkata dengan jujur.

Tidak ada satupun yang chat, mungkin mereka sibuk.
Aku berusaha mengalihkan pikiran dengan membaca buku di kamar.

Aku jarang keluar, bukan karena aku sombong atau aneh seperti kebanyakan orang. Seandainya dia yang ku cinta tahu, bahwa aku sangat tersiksa.

Masihku perhatikan tidak adanya suara notifikasi penting, hanya beberapa iklan dan berita. Aku menutup buku, untuk mengakhiri kegiatan merenung hari ini.

Cerita di mana,  aku belajar menjadi tokoh utama. Bukan karena hal yang tidak mungkin, keinginanku untuk menjadi seorang penulis harus sedikit terguncang.

Kepergian banyak orang membuatku sedih. Perlahan-lahan mereka juga akan berubah, aku berdiri dan berusaha untuk mencari kegiatan baru.

Masih kuingat  ketika sey menyuruhku untuk liburan, mungkin saja itu berhasil. Hari ini aku tidak ingin mengganggu, hujan juga masih belum berhenti.

Ku tahu sudah dari pagi yang gelap, jika hujan masih merintikkan air mata. Mengubah hawa panas di sekitarnya, bahkan jaket yang aku gunakan sepertinya hanya bagian kecil yang tidak bisa melindungiku dari suasana seperti ini.

Mulai kuperhatikan, rumah yang masih sepi.  Ibu mungkin sudah berangkat ke pasar, padahal ini masih hujan deras.

"Hujan, kenapa kamu terlalu lama? " tanyaku, "ibu pasti kedinginan dan pasar akan sepi. "

Ibuku, masih ku hindari semua kenangan buruk dan harapan itu juga membuatnya kecewa besar padaku.
Seharusnya, jika aku bertemu dengannya tidak mesti dengan hal seperti ini.

"Jika kau ingin menjauhinya, kamu hanya perlu jujur,  jangan menipunya seperti pengecut! "

Perasaan itu tidak salah, aku tidak melarangnya untuk mencintai seseorang. Mungkin untuk sekarang aku harus melarangnya, lagi dan lagi.
Aku belum siap untuk kembali engkau tinggalkan, atau kamu tipu dan marahi.

Masih dengan rasa sepi, aku putuskan untuk berbaring di kasur. Menatap langit-langit kamar yang sudah berdebu, kesepian ini bukan karena patah hati. Setelah kamu pergi, semua harapanku memang hancur.

Kamu mewujudkan satu titik dimana aku tidak berdaya. Ketika kamu mulai berkata, "Aku tidak bisa terus bertahan, mulai detik dimana kamu membaca ini, kita tamat_"

Hope in PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang