Sakura yang gugur

10 1 0
                                    


  Saat aku berhenti, di sana aku merasakan kecewa. Dia benar, hatiku masih sakit, masih ingin aku mengirimkan pesan. Mataku masih menatap layar ponsel yang menunjukkan bahwa dia tidak memblokirku lagi.

Jariku terhenti, untuk tidak menulis apapun. Mengingat semua ini membuat aku menangis, seperti Ismaya dia juga terlalu sibuk untuk membagi semua pengalaman bersama.

Dia sang rembulan, juga pergi bersama dia yang mungkin membuat dirinya bahagia.

"Sayang, apapun yang terjadi, berjanjilah kamu tidak akan menangis. "

"Aku sudah tidak kuat lagi, " kataku.

Suaraku lemah dengan tubuh bergetar lemas menatap sebuah lembaran buku.  Setiap hari aku mencatat apa yang dia ucapkan bahkan dia tulis di akun media sosialnya, masih ku simpan kenangan kecil itu.

Air itu mengalir dan menghapus beberapa kata dari tinta hitam.  Kaki ku yang terluka terasa semakin perih.

Pagi ini mungkin cahaya harus tertutup awan gelap. Di mana kamu tidak terlihat seperti air mataku yang tersembunyi di sela-sela derasnya hujan.

"Hah, apa yang aku cari? "

"Apa yang aku inginkan? "

Banyak pria pergi dengan berbagai alasan. Mungkin karena aku terlalu baik atau hal lain.
Banyak dari mereka penasaran dan menggunakan cara yang justru melukaiku.

Bahkan salah satu dari pengantar paket buku, yang aku beli secara online juga penasaran tentang diriku.

Terkadang masih kupikirkan, apa yang membuatnya bingung. Sementara siapa nanti yang akan memberikan jawaban dari rasa penasaranku jika dia juga penasaran padaku?

Sampai sebuah melodi itu terdengar di telingaku.
Sebuah lagu, yang indah dan cantik.
Dari Sey, lagu itu terkirim dengan nada yang rapi.

Hari ini aku berbicara dengannya, dan memberinya siput yang aku temukan.

Dia memberi nama siput itu sebagai Slicee.  Mahluk lambat yang begitu tenang, tidak terlalu banyak bicara tetapi Slicee adalah siput yang imut.

"Aku ingin mendengar suara ketika kamu menyebut namaku, " ucapnya.

Walau sekedar tulisan biasa di atas layar ponsel. Aku berpikir, mungkin jika aku bernyanyi itu akan lebih baik.  Aku jujur padanya jika aku kecewa pada banyak hal.

Termasuk rasa takutku ketika melihat video pembunuhan yang tidak sengaja aku temukan.

Dengan napas panjang aku ketik sesuatu, dan berharap mendapat izin darinya.

"Sey, boleh aku minta pelukan darimu sebentar saja? "

" Iya boleh gak apa-apa, " jawabnya.

Pada akhirnya pelukan jarak jauh itu sudah membuatku tenang. Aku berterima kasih padanya, setidaknya aku bisa lebih tenang.

Aku melihat di papan pengumuman jika naskah Okta lolos untuk di terbitkan, aku sangat senang. Sekarang rasa  kesepian juga membuatku ingin berdiam diri saja.

Aku akan menyimpan setiap melodi ini. Tentang kamu dan yang lain, karena suasana ini adalah hatiku. Rasanya sedih saat melodi itu hilang dan kembali terdengar setelah sekian lama.

Masih ku lihat tiap akun dan foto profil mereka. Bibirku berlahan tersenyum, lama semenjak pertemuan itu dan bagaimana perpisahan itu akan tiba.

Tiada orang yang mau merasakan sakit seperti iniJika kamu pergi itupun juga tidak akan bisa di gantiSekalipun kamu menyuruhku untuk pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiada orang yang mau merasakan sakit seperti ini
Jika kamu pergi itupun juga tidak akan bisa di ganti
Sekalipun kamu menyuruhku untuk pergi

Dalam keadaan seperti ini kehadiranmu
Bagai sakura yang gugur bersama waktu
Lalu berganti lagi dan lagi
Mekar di waktu yang belum tentu sama
Tetapi hanya dengan ini aku bermimpi

Tanganku masih menggepal. Menahan semua ini sendiri bukan sesuatu yang  mudah. Ku masih mencoba bangkit untuk percaya, mungkin esok akan ada saatnya aku benar-benar tertawa.

Menjadi nyata di hati seseorang. Bagaimanapun, aku tidak bisa berharap banyak.

Ku lihat ibu sedang mengupas petai, sebenarnya aku ingin sekali mengabulkan harapannya, bukankah seorang anak juga ingin ibunya bahagia?  Masih kupikirkan.

Aku masih memeluknya, ku hampiri dengan harapan dia akan menerima pelukanku.  Ibu dia mengusap kepalaku, memelukku dengan hangat.
Sudah ibu tahu, aku menangis.

"Sudah jangan menangis, tidak ada yang perlu kamu takutkan, penting kamu berusaha untuk berbuat baik, " jelas ibu.

"Ibu, kenapa semua pria itu jahat? "

"Ssst, " Ibu menghentikan perkataanku dengan jari telunjuknya.

"Memang sudah zamannya, kita hanya bisa pasrah dan berharap mendapatkan yang terbaik. "

Masih kupandangi ibu. Rasanya sakit, ibu dari dulu bahkan tidak sempat merasakan indahnya dunia luar dan bagusnya barang-barang mewah.
Doa ayahku, karenanya aku dilahirkan.

Permintaan sederhana itu terwujud. Dari harapan itu aku tumbuh dengan jiwa seperti ini. Ada kalanya mereka kecewa dan ada waktu di mana aku juga kecewa.

Sebenarnya aku tidak ingin protes. Karena aku tahu ini proses, tetapi bukankah ada yang lebih buruk jika proses itu hanya di lalui saja?

Aku berbincang-bincang cukup lama dengan ibu. Berharap melupakan rasa sakit yang ada, masih belum mampu aku melupakan atau move-on dari hubungan ini.

Rembulan memang sudah menipumu dengan cahayanya.  Karena dia meminta aku pergi, dengan hal itu dia tampak bahagia.
Dari doa ayah aku dihadirkan dan sekarang dari rinduku padanya dia memintaku pergi.

Cinta, seperti apa yang akan kau takdirkan? Dari segala pilihan sederhana ini.

Hope in PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang