"...And this is the ideal society that we want in the 21st century where we already accept that the Declaration of Human Rights...."
"Makin cinta sama Kak Mark kalo gini caranya gue, Far."
Farah menggeleng pelan, temannya satu ini memang sulit kalau sudah naksir orang. Dia ingat betul bagaimana awalnya Sara terpesona dengan laki-laki yang sedang berargumen panjang di depan ruangan itu. Ia juga ingat bagaimana patah hatinya Sara setiap saat mendengar kabar Mark Lee punya pacar. Tapi tetap saja, seperti yang dilakukannya sekarang, Sara kembali gagal mengalihkan pandangannya sepermili detik pun dari laki-laki itu.
"Kalo lo beneran jadian, gue ketawa paling duluan sih." Sara mencubit paha Farah namun tetap tidak berpaling menatap ke depan, tempat Mark memaparkan isu-isu yang ia tidak mengerti maksudnya karena saking cepatnya Mark bicara.
Tapi tidak bohong juga kalau Sara merasa insecure-malah kadang sangat insecure dengan perasaannya. Mark itu pintar, terkenal dengan prestasi-prestasinya, bule lokal, ganteng luar dalam pokoknya deh! Sara tidak tahu pasti sejak kapan pria itu mempengaruhi hidupnya di perkuliahan. Gadis itu jadi lebih mengurangi kadar kemalasannya untuk pergi ke kampus atau saat mengerjakan tugas.
"Nih, ya, ibaratnya Kak Mark tuh udah naik tangga sampe lantai 16, lo masih di lantai 2, Ra."
"Gue ngejar pake helikopter ntar."
"Kan ada lift goblok."
"Lah iya lupa."
Suara nyaring Mark mengisi ruangan dengan pendapatnya yang berapi-api. Sara tersenyum sambil sesekali meng-instastory Mark yang dengan gagahnya terus berbicara dengan berbagai gestur. Tiba-tiba Farah dan seluruh audiens bertepuk tangan setelah Mark menyelesaikan salah satu kalimatnya. Sara refleks ikut bertepuk tangan heboh.
"Eh lo semua tepuk tangan gara-gara apaan si?"
"Idih lo ga ngedengerin?"
"Denger."
"Yaudah terus?"
"GUE GA NGERTI KAK MARK NGOMONGNYA CEPET BANGET ANJING" Omel Sara sambil berbisik namun tetap ngegas.
•©•
Mark melepas dan menyampirkan almet universitas di tangannya. Dalam hatinya sedikit kesal karena dirinya tidak berhasil meraih juara satu padahal sudah grand final. Sepertinya argumennya tadi sedikit tidak didukung oleh fakta. Mark melangkah keluar sambil menggeser layar handphone hendak mengabari ibunya. Tapi tiba-tiba matanya menangkap warna almet yang sama dengan yang dipegangnya sekarang. Padahal teman-temannya kebanyakan sudah pulang di tengah penampilannya menjelang akhir tadi. Setelah mengirim beberapa pesan yang berisi ucapan syukur dan maaf karena tidak menang kepada ibunya, Mark berlari kecil menghampiri dua sosok dengan blazer berwarna ngejreng itu.
"Hai kalian,"
Sara dan Farah menoleh bersamaan. Sara yang sedang menyedot boba dan masih menyisakan benda bulat hitam itu di lidahnya mempercepat kunyahannya.
"Makasih udah nonton ya. Btw, kok belom pulang?" Mark sedikit berbasa-basi.
"Ini nganterin temen saya nyari makan deket sini, kak. Katanya lapar." Farah menjawab sambil menunjuk orang di sebelahnya dengan ibu jarinya.
"Oh kalo gitu makan bareng aja kita. Yuk? Mau?" Mark menawari dengan sepenuh hati. Teman-temannya sudah pulang sejak tadi karena sudah hapal betul kebiasaan Mark yang suka menraktir setiap dirinya menghadiri perlombaan sebagai bentuk penghargaan karena telah datang menontonnya, dan bentuk syukur dengan hasil yang ia peroleh. Mereka sengaja pulang lebih dulu supaya Mark tidak bisa menraktir dan akan lupa keesokan harinya saat bertemu di kampus.
"E-eh gausah kak. Dia makannya banyak."
"Far!"
"Beneran, guys, gapapa. Gue juga laper soalnya jadi sekalian aja. Temen-temen gue udah pada pulang soalnya, sedih kan? Masa kalian juga tega banget biarin gue laper sendirian?" Mark mengangkat alis, menunggu jawaban dua orang di depannya.
•©•
"Kalian tertarik sama debat?"
"Gue sih nggak, kak. Cuman Sara kayanya tertarik nih. Debat mulu sama gue soalnya." kata Farah membalas pertanyaan Mark dengan lo-gue karena Mark yang meminta.
"Asik dong lo udah punya basic-nya hahaha"
Sara menyendok soto ayamnya. Tertawa kecil merespons candaan renyah Mark.
"Selamat ya, Kak, juara dua."
Kali ini terbalik Mark yang tertawa kecil menanggapi ucapan Sara.
"Thank u."
"Anak UGM jago banget parah ga si? Lo liat ga tadi?" Mark bertanya antusias dijawab anggukan cepat oleh Sara.
"Gue lupa maparin beberapa fact nya tadi, holy crap."
"Tetep bagus kok kak penampilannya. Keren. Karismatik." Sara memuji sambil kembali menyendok makanannya.
"Gimana tanggapan lo berdua sama argumen gue dan temen gue?"
"Gue ga ngerti lo ngomong apa cepet banget lo kayak nge-rap."
"See?" Farah menyambar kalimat Sara. "Temen gue ini emang goblok, Kak. Dia nonton debat cuman biar keliatan pinter aja."
Mark meringis kecil.
"Eh kak, gue lupa malem ini mau ada pengajian di rumah gue, belom nyiapin apa-apa..." Farah dengan gesit merapikan barang-barangnya dan dimasukkannya ke dalam tas biru tuanya.
"Lo mau balik? Yah terus gue gimana dong?" Sara menghentikan makannya dan menatap Farah memelas.
"Yaudah lo lanjut, sayang itu udah lo makan. Gue balik dulu dadah."
"Hati-hati."
Farah tersenyum, bergegas ke kasir dan tak lama setelahnya berlalu hingga tidak terlihat lagi punggungnya.
Mark melihat Sara dengan canggung.
"Lo balik sama gue aja ya ntar?"
"Loh?"
"Gue bawa motor."
"Gausah kak ribetin."
"Asli, nggak ribetin."
"Gamau ah-"
"Oke santuy gue bawa helm dua"
"IH-"
"Kalo orang nawarin kebaikan lebih baik diterima because it means lo bikin orang happy, menghargai usaha orang lain, mempererat hubungan, menghilangkan perasaan canggung, and bikin orang jadi merasa berguna. So, you need to accept."
Sara menghela napas kalah mendengar penjelasan panjang nan jelas dari seorang Mark Lee sang debater yang mengakhiri pernyataannya dengan satu suapan soto ayam pedas.
"Lo sama temen lo barusan sekelas sama Haechan?"
_______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBATER -Mark Lee
FanfictionGimana rasanya naksir anak debat? "Kirain debat doang passion aku, ternyata kamu juga." "Dakjal" © sarawberries