Hari itu, hari minggu. Seperti anak remaja pada umumnya, Adelia memanfaatkan hari libur akhir pekan itu dengan sebaik mungkin.
Jika biasanya ia akan banyak menghabiskan waktu weekend nya dengan kumpulan album foto karya ayahnya, atau menghabiskan waktu berjam-jam didalam kamar untuk melototi laptop milik abangnya yang ditinggal dirumah dengan vidio youtube yang membahas tentang fotografi, kamera, dan sejenisnya, atau bahkan bertelponan full dengan abangnya yang sekarang berada dikota hujan untuk kuliah dengan alasan melepas rindu.
Tapi kali ini berbeda, Ada pameran karya seni rupa dua dimensi yang dibuka umum didekat perumahannya. Dan Adelia tampaknya tak akan menyia-nyiakan hal itu. Apa lagi Setelah mendapat izin dari ayahnya, yang ternyata merupakan salah satu tamu undangan pameran yang Adelia baru tau diselenggarakan dengan tujuan menggalang dana untuk anak-anak panti . Dan, Adelia juga dibuat makin semangat saat ayahnya mengatakan bahwa pameran itu diisi oleh, dari, dan untuk anak-anak panti itu sendiri.
Berbekal semangat yang menggebu, Adelia berangkat terlebih dahulu ketempat pameran yang berada dirumah panti dekat rumahnya yang sekarang sudah berubah menjadi tempat pameran yang patut diapreasi.
Adelia berdecak saat ia melihat keantusiasisme orang-orang disekitar mereka yang berkunjung mendatangi pameran.
Bahkan, Adelia juga mendapati beberapa teman ayahnya yang sering melakukan pameran fotografi bersama tiap tahunnya sedang menikmati karya seni yang ditampilkan. Melihat keramaian pameran yang terlihat sederhana namun menyenangkan ini. Adelia tak perlu berpikir ulang saat mengatakam bahwa pemilik ide dan siapapun dalang dibalik pameran ini benar-benar cemerlang.
Setelah mengisi buku tamu dan menerima katalog sederhana yang disediakan, Adelia pun makin masuk kedalam, matanya dengan jeli memerhatikan setiap karya yang dipajang dengan angkuh didinding-dinding tembok pameran.
Karya seni dengan hasil karya yang beragam, unik dan menarik, semuanya terlihat memikat dimata Adelia. Bahkan tak segan-segan, Gadis berkalung kamera itu mengarahkan lensa mirrorlessnya kebeberapa karya. Namun, sebelum itu ia sudah benar-benar memastikan bahwa tidak ada flash yang nantinya akan mengganggu atau merusak karya itu sendiri.
Adelia membungkukkan badannya 30° kearah lukisan abstrak yang menarik perhatiannya sejak awal, jari-jarinya memposisikan benda digital itu tepat dimatanya, sedangkan netra coklatnya fokus membidik apa yang tertangkap lensanya. Dalam hitungan detik selanjutnya, bibirnya yang sejak tadi ikut mengkerut efek konsentrasi sekarang pun berubah menjadi segaris lengkungan senyum bangga saat melihat hasil jepretan kameranya.
Menghembuskan napasnya,Adelia berniat menyusuri karya-karya lainnya. Namun, langkah riangnya mendadak beku saat netra coklatnya dengan tak sengaja menemukan seseorang yang cukup ia kenal selama ini.
"Om Abdi!" panggilnya keras, membuat bukan hanya laki-laki dewasa berkacamata itu saja yang menoleh, tapi hampir semua pengunjungpun melakukan hal yang sama.
"Adelinna" Laki-laki berumur kisaran tengahan empat puluh itu menghampiri anak teman seprofesinya, Aji.
"Apa kabar om?" Adelia mencium tangan laki-laki dewasa yang ia panggil Abdi itu dengan riang yang dibalas senyuman serta jawaban basa-basi dengan kembali menanyakan pertanyaan yang sama pada Adelia.
Omong-omong Abdi adalah salah satu photographer yang karyanya pernah dipajang dipameran kelompok ayahnya bulan lalu. Jika Adelia ingat-ingat, karya om Abdi inilah yang menjadi saksi pertemuan tak sengaja nya dengan bayu dipameran kala itu. Pertemuan singkat yang cukup bersejarah bagi seorang Adelinna.
"Kamu datang juga ternyata, "
Adelia tertawa sopan, " Dateng dong om, sayang banget kalau nggak dateng. Apa lagi deket dari rumah, bisa nyesel banget Adel kalau nggak hadir. Justru om ini yang nggak Adel sangka-sangka bakal hadir, yang Adelia tau, ayah bilang kalau om mau keliling ke Amerika tengah ya."
Om Abdi tertawa, " Om harus dateng dong, masak kurator pameran nggak menghadiri acara pamerannya sih?"
"loh-loh.. Om Abdi jadi kurator seni pameran ini om?" tanya Adelia penasaran.
'Iya"
"Wah, Om hebat banget. Pantesan.."
"pantesan gimana?"
"keren!" puji Adelia mengangkat dua jempolnya.
"Om itu kurator Adel, bukan koordinator." Om Abdi menyangkal.
"Tapi serius om, tetep aja keren."
"Terserah kamu deh, oia ayah kamu kamana?"
Obrolan akrab itu terus berlanjut masih dengan langkah kaki yang terus membawa mereka kebeberapa koleksi lainnya.
Dari beberapa teman seprofesi ayahnya, Om Abdi inilah yang menjadi favorite Adelia, bukan karena hasil jepretan kameranya yang sudah menyebar diberbagai pameran nasional maupun internasional melainkan karena sikap ramah dan terbuka dari sosok Abdi lah yang membuat Adelia banar-benar mengidolakan teman ayahnya itu.
"Menurut om, gambaran dari lukisan ini gimana om?" Adelia menanyakan pendapat Abdi yang ntah untuk keberapa kalinya selama mereka berjalan mengelilingi ruangan pameran ini. Abdi menoleh, ia mengerutkan keningnya sekilas sebelum berdehem dan memberi pendapat.
"Keren, mengandung banyak harapan."
Adelia mengangguk, ia lalu kembali menatap lukisan seorang anak kecil yang terlihat kumuh itu sedang duduk dengan lamunan dan arah mata yang memandang kosong disebuah gubuk bambu.
"Iya om, Adel juga setuju.. Lukisan ini kayak menggabambarkan anak-anak panti yang penuh harapan"
Abdi mengangguk-angguk setuju.
"Tapi lukisan yang disana kayaknya lebih bakal kamu suka deh Del," Ujar Abdi tiba-tiba.
"Oh ya?"
"Iya"
"emang tentang apa om?"
"Masih tentang harapan, dilukis sama salah satu seniman baru yang masih bisa dibilang alumni penghuni panti lah."
"Dimana om?"
"Di stand sana, tapi om nggak bisa temeni ya Del, om mau ketemu temen-temen om yang lain. Ayah kamu juga ini."
Adelia tersenyum, "Iya om, makaaih ya."
Abdi mengangguk lalu berpamitan pergi. Setelah itu, Adelia memutuskan untuk mendatangi stand lukisan yang memang lebih agak ramai dari pada yang lain.
Adelia menyeruak masuk lebih kedalam dan pemandangan luar biasa ia dapatkan.
Bukan tentang lukisannya, bahkan Adelia pun belum sempat melihat dengan jelas lukisan seperti apa yang menarik banyak minat pengunjung itu.
Namun, yang menarik banyak perhatian Adelia itu adalah siapa yang sedang menikmati lukisan itu.
Disana,
Dijarak beberapa langkah dari dirinya berdiri.
Dua orang yang akhir-akhir ini sering mengacau dalam pikiran dan dunia nya itu sedang berdiri bersisian didepan salah satu lukisan yang ntah apa, Adelia kurang tau karena pikirannya yang kacau akibat rasa terkejut yang tiba-tiba menderapnya tanpa karuan.
Adelia masih membeku ditempatnya, sampai akhirnya salah satu dari dua orang itu menoleh kearahnya dan memanggil namanya.
"Adel.."
Pedamaran, 30 -Jan-2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just look at me (END)
Novela JuvenilAdelia tau Awan itu tidak bisa digenggam,tapi Adelia sangat berharap Awan yg ia kenal dapat ia genggam. adelia tau awan itu mengandung kadar air,tapi adelia justru berharap Awan yg ia harapkan mengandung sepercik,cukup sepercik cinta untuknya. *** D...