part 7

1.9K 55 0
                                    


Kelopak matanya yang mulai terasa berat hampir saja menutup sempurna, saat kecupan lembut di bahu membuat Nadia urung melakukannya. Entah kenapa, hanya sebuah kecupan kecil dari bibir pria itu saja, seolah bagai sengatan listrik yang menimbulkan reaksi luar biasa di sekujur tubuhnya.

Apa ini efek dari perasaannya yang semakin menggila? Ah, Entahlah. Yang Nadia tahu, ia menyukainya … tapi juga benci saat harus menjadi begitu lemah seperti ini.

Ditambah lagi dengan sentuhan jemari Arkan yang kini menari bebas di sepanjang punggung polosnya. Membentuk pola tak beraturan disana, memunculkan gelenyar sialan yang coba Nadia tepis dengan meremas kencang ujung bantal dengan satu tangannya.

"Nad …," bisik Arkan parau.

"Hm …."

"Kamu masih minum pil itu?"

"Hm …."

Gerakan jemari Arkan terhenti, beralih mengusap pelan lengan wanita yang belum lama dibawanya menuju puncak nirwana terindah itu.

"Berhenti aja, Sayang."

Nadia menelan ludahnya, ada beberapa hal yang masih terasa mengganjal dalam hatinya. Sikap Arkan memang telah banyak berubah, memberikan rasa nyaman yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari orang lain selain ayahnya.

Iya, selama ini Nadia terlalu takut untuk membuka diri pada sekitar. Tapi Arkan, entah pancaran pesona seperti apa yang pria itu tebarkan hingga dengan mudah ia merasa begitu nyaman saat berada di dekatnya. Bahkan, dalam keadaan yang seintim ini.

Namun, ingatannya akan pengirim pesan dengan nama Little Q, juga perihal bekal yang beberapa hari lalu ia dengar dari Tiara, membuat hatinya kembali meragu.

Semua masih tampak abu-abu. Dan itu … membuatnya harus berpikir ulang tentang keinginan Arkan, ia belum yakin akan dibawa kemana pernikahan mereka nantinya. Dan ia tak mau,  jika suatu saat nanti anaknya hanya akan terluka jika hadir dalam kehidupan pernikahan mereka yang bahkan arahnya akan kemana pun belum jelas.

"Aku belum siap, Bang. Abang bilang pelan-pelan aja, kan?" tanya Nadia dengan nada sedikit meninggi.

Menyusupkan tangan di perut istrinya, Arkan merapatkan tubuh mereka. Membenamkan wajah di lekuk leher istrinya, lalu menghidu aroma tubuh yang kini seakan menjadi candu bagi Indra penciumannya.

Kini Arkan mulai paham, menghadapi Nadia yang tertutup dan keras kepala, bukan dengan sikap yang sama keras. Setidaknya ia harus mulai belajar bersabar dan menahan emosi untuk bisa melunakkan hati istrinya itu.

"Hm … maaf, Abang aja yang ga sabaran pengen liat ada hasil kerja keras abang dalam perut kamu," ucapnya terkekeh, masih dengan posisi yang sama. Membuat Nadia meremang merasakan embusan napas Arkan di tengkuknya.

"Abang, geli …." Nadia menggeliat mencoba melepaskan diri dari pelukan Arkan. Namun Arkan justru makin mempererat pelukannya.

"Makanya ngadep sini, masa suaminya dikasih punggung terus. Dosa lho, Nad."

Nadia menoleh, memicingkan matanya pada Arkan yang tersenyum memasang wajah tak berdosa setelah menggodanya.

"Sini dong …," ucapnya membalik tubuh istrinya hingga kini mereka berbaring berhadapan. Menatap istrinya lama, Arkan menyelipkan helaian anak rambut di telinga Nadia.

"Jadi, kamu masih belum siap hamil?"

Tak lepas menatap pria yang membuat kewarasannya kian menipis akhir-akhir ini, Nadia menggelengkan kepalanya. Arkan mengangguk seolah paham dengan maksud istrinya.

"Masih minum pilnya, kan?"

"Hm …."

"Jadi …."

"Jadi?"

"Kalo nambah sekali lagi, ga akan bikin kamu hamil, kan?" tanya Arkan dengan kerlingan jahil membuat Nadia membelalakan matanya.

"Aba …."

Belum selesai ia memekik saat kemudian bibir Arkan mendarat sempurna di atas bibirnya. Mengirimkan getaran yang lagi-lagi membuatnya tak bisa berkutik di hadapan pria itu. Ah, kenapa dia jadi semurahan ini? tapi … ini terlalu indah untuk dilewatkan.

*

Menutup berkas terakhir lalu melemparnya di atas meja, Arkan lantas menyandarkan bahu. Memijit pangkal hidungnya untuk sedikit menghilangkan penat di kepala setelah berkutat dengan berkas-berkas itu.

Angannya kemudian kembali pada Nadia. Istrinya yang kini tampak semakin melunak dari sikap keras kepalanya. Tapi tetap saja, ekspresi wajah Nadia yang terlihat datar seringkali membuatnya sulit membaca pikiran wanita itu.

"Masak apa?"

Pelukan Arkan di pinggang Nadia pagi tadi  membuat wanita itu menoleh. Melihat wajah suami tampannya yang terlihat segar, serta aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu membuat Nadia tercenung tersejenak,  kehilangan fokusnya.

"Cuma nasi goreng, enggak papa, kan?"

"Apapun, pasti abang makan."

"Yaudah, kopi Abang, tuh."

Melepas pelukannya, Arkan duduk menyesap kopinya. Selalu senikmat ini, ketika menyambut hari dengan secangkir kopi, apalagi jika itu buatan sang istri.

Meletakkan dua piring nasi goreng di meja, Nadia duduk di sebelah Arkan. Lalu, mulai menikmati sarapan mereka.

"Kalo Abang mau, aku bisa bawain bekal buat Abang ke kantor."

"Kamu ga repot?"

"Biasa aja, daripada Abang yang mesti repot cari bekal di luar sana, kan?"

Tiba-tiba Arkan batuk karena tersedak. Berulang kali ia menepuk dada, hingga  Nadia menyodorkan segelas air putih padanya yang langsung diminum hingga tandas.

"Ga ada yang minta juga, Bang. Kenapa buru-buru banget makannya? sampe keselek gini," ucap Nadia seraya mengusap punggung suaminya.

"Em … Abang baru inget, ada meeting pagi-pagi. Kalo hari senin suka padet, kan? Jadi … agak buru-buru tadi."

"Oh … yaudah abisin dulu."

Arkan mengangguk. Menyuap kembali sarapannya sambil sesekali mengamati wajah Nadia. Tampak datar seperti biasa, apa hanya kebetulan? Atau … ada maksud tertentu di balik pertanyaannya?

Lamunan Arkan terhenti saat terdengar ketukan pintu di ruangannya. Tak lama wajah Tiara muncul setelah pintu terbuka.

"Maaf Pak, ada tamu ingin bertemu. Katanya penting."

"Siapa?"

"Ibu Anggita."

Sejenak Arkan tertegun, sebelum kemudian meminta Tiara mempersilahkan tamunya masuk.

"Selamat siang, Arkan."

Seorang wanita cantik berdiri di hadapan Arkan, tubuh tinggi semampainya tampak pas dengan balutan dress selutut yang membuatnya terlihat elegan. Juga sepasang high heels yang tentunya semakin menyempurnakan penampilannya.

Arkan terdiam, sebelum akhirnya berdiri dan melangkah menyambut kedatangan wanita yang kini mengembangkan senyum kepadanya.

"Selamat siang ...."

Next??

Abangku SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang