part 1

7.9K 102 1
                                    

[Abang ….]

Rahang Arkan mengeras saat membaca sebuah pesan di gawainya. Singkat, tapi cukup membuat debar di dadanya mengencang. Ia segera bangkit, menyambar jaket dan kunci motor besar kesayangannya.

"Abang mau pergi?" Tanya wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Iya, ada urusan. Gapapa, kan, abang tinggal?"

Wanita itu menatapnya, mungkin ingin bertanya, tapi ia urungkan. Hanya berganti sebuah anggukan.

"Hati-hati, Bang. Udah malem."

Arkan mengangguk, lalu berlalu meninggalkan wanita itu, yang kini kembali masuk kamar mandi. Mengganti baju tidurnya yang tadi tampak terbuka, dengan sebuah baju tidur berlengan panjang. Pilihan terbaik saat ia harus melalui malam dingin hanya seorang diri.

Arkan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia harus kembali mengumpat saat lagi-lagi lampu lalu lintas berwarna merah membuatnya harus berhenti. Ada seseorang yang menunggunya.

"Abang … sakit," lirihnya malam itu. Beberapa hari sejak mereka dipertemukan lagi.

"Kamu gila? Apa-apaan sampe ngelakuin hal  kek gini?"

"Aku enggak kuat lagi, Bang. Mending begini."

"Tapi ini bahaya, ngapain mesti ngelakuin hal tolol gini, sih?"

Arkan marah. Tapi tetap saja, rasa sayangnya jauh lebih besar. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukan, mengusap bahunya yang bergetar.

"Ada abang, tenang, ya. Sekarang tidur, biar ini abang yang urus," ucapnya mengusap pelan lengan sang gadis.

Bunyi klakson membuyarkan lamunannya, Arkan kembali memacu kuda besi itu dengan kecepatan penuh. Pikirannya hanya terpusat pada gadis itu. Setelah memarkirkan motornya, ia berlari cepat memasuki sebuah  rumah mungil dengan lampu temaram.

Netranya menangkap sosok itu, yang kini menatapnya penuh harap dengan linangan air mata. Duduk memeluk lututnya, beberapa tetes darah tampak bercecer di bawahnya. Tangan kecilnya mencengkeram satu lengan yang lain dengan beberapa luka sayatan di sana.

"Abang …," ucapnya bergetar.

Arkan berjalan melewati sang gadis, lalu kembali dengan sebaskom air hangat dan handuk kecil di tangannya. Menarik lengan dengan luka sayatan itu, lalu mengompresnya perlahan.

Gadis itu menatap Arkan yang kini mengoles lukanya dengan betadine. Tak ada satu kata pun keluar dari bibir pria itu. Hanya rahangnya yang tampak mengeras dan jakunnya yang terlihat naik turun menelan ludah.

Selesai mengobatinya, Arkan mengangkat tubuh ringkih itu dengan kedua tangan. Menurunkannya pada sebuah kasur kecil yang tampak usang. Pandangan mereka bertemu. Mata yang dulu penuh binar, kini hanya keputusasaan yang tampak di sana.

"Tidur Kinan …."

"Abang ga marah?"

"Abang capek marahin kamu, tapi tetep aja kamu kek gini."

"Cuma ini yang bisa bikin aku tenang, selain Abang."

"Udah ada Abang sekarang."

"Tapi ntar Abang pergi lagi, Abang udah punya kehidupan sendiri."

Arkan terdiam, menatap mata gadis itu yang kembali dipenuhi kaca-kaca.

"Abang enggak akan pergi."

"Dan bikin aku ngerasa apa yang mereka tuduhkan ke aku emang bener?"

"Kinan …."

"Mereka bilang aku anak pelakor, Bang. Bajingan itu mau lecehin aku lagi, tadi."

"Brengsek!"

"Dia bilang aku pantes buat dapetin itu, aku ga mau, Bang. Aku enggak mau kek Ibu, Ibu kesakitan, aku enggak mau."

Arkan membenamkan kepala gadis itu ke dadanya. Hatinya gerimis, bagaimana bisa manusia-manusia biadab itu melakukan tindakan asusila pada seorang ibu di depan anaknya yang berusia dua belas tahun?

Ibunya seorang istri kedua, ketika hal itu diketahui istri pertama ayahnya, wanita itu murka. Lalu, dengan segala kekuasaan yang dimiliki ia berusaha menghancurkan hidup ibu Kinan dengan membayar dua orang preman untuk melakukan tindakan asusila itu. Hingga besoknya, Kinan menemukan tubuh wanita yang melahirkannya tergantung di dapur rumahnya, tak bernyawa. Ibunya bunuh diri.

Kinan kecil lagi-lagi harus menelan pil pahit, bayangan dua kejadian itu terus menghantuinya. Terlebih ketika ayahnya kemudian membawanya pergi. Meninggalkan rumah lamanya, juga seseorang yang selama ini selalu menjadi pelindungnya, yang selalu memberikan rasa tenang saat bersamanya. Arkan, Abang ganteng kesayangannya.

"Abang …."

"Hmm …."

"Abang enggak pulang?"

"Abang temenin kamu di sini."

"Tapi, Abang …."

"Abang enggak mau kamu lukain diri lagi."

"Istri Abang?"

Arkan menghela napasnya, ah … andai pertemuannya kembali dengan Kinan terjadi sebelum dia menikahi Nadia karena perjodohan sialan itu. Ia memang tak pernah mencintai Nadia, tapi wanita baik-baik sepertinya pantaskah ia khianati? Namun, Kinan … ia bahkan tak punya siapa-siapa lagi, lalu sanggupkah Arkan meninggalkannya? Sementara hanya dirinya yang bisa menenangkan hati Kinan, jika tak ingin melihat gadis itu kembali melukai dirinya.

"Ga usah dipikirin, itu urusan Abang. Sekarang tidur."

Lalu, ia biarkan dadanya menjadi sandaran Kinan, hingga gadis itu terlelap. Begitu damai, seolah yakin bahwa hidupnya akan baik-baik saja saat pria itu yang menjadi sandarannya.

Abangku SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang