part 5

2.4K 60 3
                                    

Malam sudah larut, langkah Arkan terhenti saat mendapati Nadia tertidur di atas sofa. Kepalanya bersandar miring pada bahu sofa, sementara kedua kakinya tetap terjuntai menapak lantai yang terasa dingin karena udara malam.

Wajahnya terlihat damai, tanpa beban. Berbeda dengan yang biasa terlihat saat wanita itu terjaga. Air mukanya yang datar, juga minim ekspresi, terkadang membuat Arkan bingung bagaimana harus menentukan sikap. Sikap dingin wanita itu tak jarang membuatnya merasa tertolak.

Yah … meskipun selama ini Nadia tak pernah menolak memenuhi keinginan Arkan di atas ranjang, tapi … itu semua seolah hanya sebatas pemenuhan kewajiban, tak lebih. Tak ada pelukan hangat setelahnya, Arkan hanya bisa menatap punggung putih dengan sehelai selimut yang bergerak seiring deru nafasnya yang semakin lama semakin teratur, hingga tertidur.

Arkan merebahkan tubuh Nadia di atas ranjang di kamarnya, lalu beralih menatap wajah wanita itu. Cantik. Seperti kesan pertama yang ia dapatkan di awal pertemuan mereka.

Bullshit jika tampilan fisik tak menjadi salah satu hal yang membuatnya bersedia menerima perjodohan itu. Selain pembawaan Nadia yang terlihat tenang dan apa adanya tentu saja. Ia tak seperti kebanyakan wanita yang menjaga image dan segala tetekbengeknya untuk terlihat sempurna.

"Kenapa lu mau nerima perjodohan ini?" tanya wanita itu tak lama setelah ia duduk di hadapan Arkan. Hanya dengan kaos oblong dan celana jeans belel, serta sebuah slingbag kecil menggantung di bahunya. Tapi dengan itu saja sudah membuatnya terlihat menarik.

"Lu sendiri?" Nadia berdecak, mengalihkan pandangannya ke arah lalu lalang kendaraan di bawah sana. Rambut panjangnya yang tergerai sedikit melambai tertiup embusan angin sore. Sinar jingga mentari di belakang sana seakan menjadi 'background' yang membuat wajah cantiknya terlihat semakin memesona.

Arkan memang sengaja memilih sebuah cafe yang berada di rootpoof salah satu mall besar di Jakarta. Suasana di sini lebih terasa santai menurutnya.

"Gue cuma mau liat ayah bahagia. Dan ga tau kenapa? ayah bisa segitu seringnya ngebanggain lu di depan gue."

Arkan mengangkat sebelah sudut bibirnya, matanya lurus menatap Nadia.

"Mungkin karena gue emang sekeren itu," ucapnya mengedikkan bahu. Yang dibalas dengkusan oleh wanita di depannya.

"Kalo emang sekeren itu, harusnya lu bisa dapatin yang jauh lebih dari gue. Dan bukan karena perjodohan tentunya."

"Yah … anggep aja gue anak berbakti, lagian orangtua gue juga ga mungkin milihin jodoh sembarangan buat masa depan gue, kan? Dan sepertinya ... lu cukup menarik."

Lagi-lagi Nadia mendengkus, membuat Arkan mengangkat sebelah alis tebalnya. Bukankah biasanya wanita akan tersipu malu dengan semburat merah di pipi kala sebuah pujian terlontar untuknya? Tapi wanita ini ... unik. Dan itu cukup menjadi alasan bagi Arkan untuk mengamini keinginan orang tuanya. Soal cinta, itu bisa diupayakan nanti bukan?

Namun, ternyata semua tak semudah apa yang ada dalam benak Arkan. Hari itu sekitar dua minggu setelah pernikahannya. Mereka baru saja menghabiskan malam panjang untuk pertama kalinya sebagai sepasang suami istri. Yah, setidaknya mereka perlu waktu untuk bisa saling membiasakan diri sebelum memutuskan untuk berbagi peluh malam itu.

Tiba-tiba sebuah panggilan Arkan terima saat istrinya sudah mulai terlelap. Suara di seberang sana meminta mempertemukannya dengan Nadia.

Besoknya. Pertemuan itu nyatanya justru membuat Nadia semakin menjauh darinya.

"Apa maksudnya?" tanya wanita itu dengan mata memerah. Entah menahan amarah, atau tangis.

"Nad …." Arkan meraih lengan Nadia, namun wanita itu menepisnya kasar.

Abangku SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang