part 3

3.6K 62 0
                                    

Ada berbagai tanya yang bersarang dalam kepala Nadia. Terlalu banyak hal yang belum ia mengerti tentang Arkan. Tentu saja, pernikahannya baru berumur empat bulan. Terlebih hubungan mereka terbilang tidak cukup normal jika dibandingkan pernikahan lainnya.

Tapi, Nadia bukan wanita dengan kadar kepo yang tinggi. Sebesar apapun rasa ingin tahunya, ia lebih suka menyimpan sendiri. Ia tidak suka terlalu banyak bertanya, sejak dulu.

Seperti malam itu, ketika tiba-tiba ibunya pergi. Nadia bahkan tak pernah tahu, kenapa ibunya terlihat setengah hati menyayanginya. Namun, ia tak menyangka jika wanita itu sampai hati meninggalkannya bersama sang ayah.

Nadia ingin bertanya, tapi ketika wajah mendung ayahnya menjadi respon akan semua pertanyaan yang ia lontarkan, maka  ia lebih memilih untuk diam. Menyimpan semua dalam hati. Apalagi setelah kepergian ibunya, beberapa kali ia melihat sang ayah menangis dalam keremangan malam dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Sementara di hadapannya, lelaki itu selalu bersikap ceria. Seolah tak ada beban meski harus mengurusnya seorang diri.  Ayahnya terlihat bahagia. Jadi yang Nadia tahu, ia juga harus terlihat bahagia di depan sang ayah. Meski dalam hatinya, ada berbagai tanya mengapa ia tak bisa seperti teman lainnya yang memiliki keluarga utuh?

Iya, terkadang orang tua tanpa sadar telah memberikan suatu contoh pada anak dengan perilakunya. Karena bagi seorang anak, belajar bukan hanya sekedar membaca dan menulis, tapi juga meniru. Anak, adalah peniru ulung dari perilaku yang tampak pada orangtuanya. Disadari atau tidak.

Suara pintu menghentikan lamunan Nadia. Arkan keluar dari kamar, mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil. Beberapa titik air yang tampak menetes dari ujung rambut membuatnya terlihat … sexy. Ditambah dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Ah, Terpesona pada suami sendiri, dosakah?

Mengerjap, Nadia tersadar dengan kebodohannya. Terlebih ketika menyadari Arkan tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat dan seringai geli di wajahnya. sialan memang otaknya ini!

"Ab-abang mau langsung makan?" Tanyanya seraya mengedarkan pandangan untuk menutupi rasa gugup.

"Hm …."

Nadia menyiapkan makanan yang sempat ia masak tadi. Terlalu siang untuk dikatakan sarapan. Jadi, ia menyiapkan menu berat layaknya makan siang. Seperti biasa, mereka makan dalam hening. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar hingga selesai.

*

[Abang, dompetnya ketinggalan di rumah]

[Abang ga ke kantor hari ini?]

[Abang sakit? Kecapean gara-gara tadi malem?]

[Abang ….]

Arkan tersenyum membaca rentetan pertanyaan Kinan di WhatsApp. Kinan memang selalu seperti ini sejak dulu. Cerewet. Tak akan berhenti bertanya jika apa yang membuatnya penasaran belum terjawab.

"Abang enggak punya adek?" tanyanya kala itu. Kinan sudah sebulan pindah, satu kompleks dengan rumah Arkan. Gadis kecil itu berusia tujuh tahun, rambutnya selalu dikepang dua. Lucu.

"Ada, adek abang udah di surga."

"Surga itu apa?"

"Surga itu tempat yang indah."

"Kalo gitu Kinan juga mau ke surga."

"Jangan, Kinan di sini aja temenin abang. Jangan tinggalin abang juga."

"Kalo ke surga enggak bisa balik kesini lagi, Bang?"

"Hm … surga itu tempatnya orang yang sudah meninggal."

Abangku SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang