'Pernikahan yang dilandasi kesucian dan doa kepada Allah akan mendatangkan rahmat kebahagian dikehidupan berkeluarga.'
* * *
Nasywa memandang datar cermin yang memperlihatkan wajahnya yang terlihat sangat cantik setelah dipoles make-up, disampingnya terdapat seorang perias yang tengah tersenyum senang melihat hasil kerja kerasnya yang sangat memuaskan. Wajah yang telah berubah menjadi cantik tak secantik keadaan hatinya yang kini telah kacau, ia merasa saat ini ingin kabur dan menangis saja. Namun sepertinya tidak akan bisa, mengingat ia pasti akan mempermalukan Ibu dan Kakaknya kalau sampai segala pikirannya itu ia lakukan.
"Gimana Mbak? Puas gak sama riasannya." Tanya seorang perias yang kalau Nasywa tidak salah ingat bernama Mbak Risti.
Nasywa hanya mengangguk singkat menanggapi pertanyaan dari Mbak Risti, ia tidak terlalu bersemangat dengan apa yang akan ia alami hari ini. Sungguh hari ini adalah hari yang paling buruk dan dapat mengubah kehidupannya yang akan datang, tapi apa yang dapat ia perbuat? Ia hanya harus bisa ikhlas menerima takdir yang telah Allah gariskan untuknya.
"Mbak kok kelihatannya gak bahagia? Apa menikah karena terpaksa? Setau saya kalau orang mau nikah itu mukanya ceria dan berseri-seri, gak kayak Mbak yang kelihatan sedih begini." Nasywa menoleh kearah Mbak Risti ketika perempuan itu berbicara.
"Saya bahagia kok Mbak, cuma sedih aja harus pisah sama keluarga." Nasywa berusaha mengulas sebuah senyum meski terlihat terpaksa.
"Ooh gitu ya Mbak? Kirain Mbak gak seneng nikah, soalnya kalau saya gak salah kira usia Mbak masih muda banget ya?"
"Bahagia kok Mbak, pengantin mana sih yang gak bahagia dihari pernikahannya?" Yang tentunya sebenarnya aku sendiri yang tidak bahagia dihari ini.
"Iya juga sih, tapi banyak juga kok Mbak yang nikah terpaksa. Eh Mbak belum jawab loh usianya berapa?"
"Masih 17 Mbak." Ucap Nasywa sambil tersenyum.
"Waah muda banget ya, nikah muda nih ceritanya." Mbak Risti terperangah ketika mengetahui usia Nasywa.
"Usianya gak jauh beda sama aku, kalau aku masih 19 nih." Nasyaa hanya tersenyum.
Obrolan mereka terhenti ketika mendengar suara pintu dibuka dan muncul Ibu tirinya yang kini berjalan kearahnya tanpa sebuah senyuman ataupun kesedihan, mungkin Ibunya itu merasa bahagia karena ia sebentar lagi akan enyah dari rumah ini. Ia seperti barang yang digadaikan oleh Ibu tirinya untuk melunasi semua hutang-hutang yang sebenarnya bukan kepentingan dirinya, namun jika ia menolak ia merasa kasihan dan tidak tega jika Ibu dan Kakaknya akan masuk penjara. Bagaimanapun juga mereka adalah keluarganya, ia tidak akan mungkin membiarkan hal buruk terjadi. Meskipun ia harus mengorbankan hidup dan masa depannya.
"Ayo keluar, suamimu sudah menunggu." Tanpa mengucapkan terimakasih untuk segala yang dilakukan oleh Nasywa ataupun maaf karena telah banyak berdosa kepada Nasywa, Ibu langsung keluar begitu saja.
Tak ada pelukan sedih dari seorang Ibu yang melihat anaknya menikah, tak ada tangis pilu yang menjadi kenangan seumur hidup. Semua terasa hambar, tak ada bumbu-bumbu penyedap dihari yang mungkin akan menjadi hari bahagia bagi orang lain. Namun tidak dirinya yang merasa sakit dan sedih dihari ini.
"Mbak saya yang tuntun ya?" Nasywa mengangguk ketika Mbak Risti memegang lengannya untuk menuntunnya keluar kamar.
Nasywa yang dituntun Mbak Risti melangkah mendekati seorang laki-laki yang kini telah resmi menjadi imamnya, ia menundukan pandangannya dan langsung meraih punggung tangan laki-laki itu untuk diciumnya. Begitupun sebaliknya laki-laki itu mencium kening Nasywa membuat Nasywa berusaha sekuat tenaga agar tidak mendorong tubuh laki-laki itu menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Sujud
SpiritualNasywa Arlana Al-Latief seorang gadis shalihah yang kehidupan sehari-harinya selalu diselingi isak tangis karena perbuatan Ibu dan Kakak tirinya, ia selalu diperlakukan tak manusiawi. Selalu disiksa dan dipaksa bekerja keras untuk menghidupi keluarg...