'Hubungan itu harus didasari dengan kejujuran dan keterbukaan agar terjalin keluarga yang harmonis.'
* * *
Nasywa mengerjapkan kedua matanya, pandangannya teralihkan kearah tangan yang melingkari pinggangnya. Dengan perlahan ia melepaskan tangan itu dari pinggangnya kemudian beranjak pelan-pelan, mencoba tak menimbulkan suara agar laki-laki itu tak terbangun. Jantung Nasywa rasanya ingin loncat ditempatnya ketika tadi ia merasakan pelukan hangat dipinggangnya ketika ia membuka mata, padahal seingatnya sebelum tidur tadi ia menaruh bantal guling ditengah-tengah antara ia dan suaminya itu.
Nasywa menggeleng pelan, lebih baik ia bersegera mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat malam seperti biasanya. Kebiasaan yang selalu ia lakukan itu tak pernah ia tinggalkan, baginya shalat malam itu adalah sebuah kewajiban yang harus ia laksanakan padahal hukum yang tertera adalah sunah. Namun menurutnya melaksanakan shalat malam dapat menentramkan hati dan jiwanya yang sedang resah dan gelisah, ia tau bahwa Allah akan lebih mendengar doanya jika ia shalat malam sambil berdoa dengan sepenuh hati.
"Ya Allah, aku tau ini semua takdir yang engkau gariskan kepadaku. Aku mohon ya Allah, bantulah aku dalam menjalani peran sebagai seorang istri yang shalihah untuk suamiku..." Nasywa melirik sekilas kearah Richard yang tengah tertidur.
"Meskipun aku menikah dengannya karena terpaksa, aku tidak ingin ada perpisahan diantara aku dan dia ya Allah. Bantulah aku dalam menjalankan rumah tangga ini menjadi sakinah, mawadah, warohmah... Aku ingin semoga dialah yang akan menjadi sumber kebahagian dan tempatku dalam berlabuh cinta, rasa itu memang belum ada. Tapi aku mohon kepadamu, bantulah aku untuk menumbuhkan rasa itu kepada suamiku sendiri... Amiiiin..." Nasywa menghela nafasnya pelan, lagi dilihatnya Richard yang masih tertidur pulas.
Nasywa melangkahkan kakinya keluar kamar untuk pergi menuju dapur, ia membuka kulkas yang berada didekat kompor gas. Matanya membelalak ketika mendapati hanya ada beberapa telur dan banyaknya kaleng soda, namun bukan itu yang membuatnya terkejut. Melainkan ia melihat ada sebotol wine yang berada didekat beberapa kaleng soda, meskipun ia orang yang tabu akan hal itu namun ia masih sangat jelas mengerti minuman apa yang terdapat dalam kaleng itu dilihat dari warna dan baunya.
"Astaghfirullahaladzim, Allah apakah aku menikah dengan orang yang salah?" Tak terasa setetes air mata membasahi pipinya.
Nasywa menatap nanar botol wine itu, ingin ia membuangnya dan berteriak marah kepada Richard. Tapi dia sadar diri, dia siapa? Hanya istri yang dinikahi laki-laki itu atas dasar kasihan. Ia tak berhak mencampuri urusan Richard karena ia tau diposisi apa ia sekarang berada, posisi yang sangat sulit. Ia bagaikan sudah keluar dari lubang ular kemudian masuk ke kandang serigala, tak ada yang tau seperti apa rasanya menjadi dirinya. Beruntunglah dirinya karena Richard tak memaksanya untuk melayani laki-laki itu, mereka tadi malam langsung tidur tanpa banyak kata bahkan saling memunggungi. Entah hsl apa yang menyebabkan ia dan suaminya itu tidur sambil berpelukan, mengingatnya saja sudah membuat Nasywa gugup sendiri.
Nasywa memilih memasak nasi di rice cooker, untunglah ia mendapati sekarung beras yang terletak dibawah kompor. Jika tidak ada entah apa yang akan Nasywa masak dan mereka makan, Nasywa akan memasak nasi goreng telur mengingat hanya ada dua barang itu di apartemen ini. Dikulkas kebanyakan minuman kaleng bersoda dan satu botol minuman itu, mengingat itu membuat sedikit relung hati Nasywa kecewa. Dia pemabuk ya?
"Allahuakbar.... Allahuakbar...."
Suara adzan subuh berkumandang membuat Nasywa menghentikan lamunannya, bersegera ia beristighfar lalu kembali memasuki kamar mereka. Mereka memang satu kamar karena Nasywa tidak ingin sok-sokan meminta kamar mereka dipisah, ia sadar diri bahwa ia hanya menumpang disini. Mungkin jika laki-laki itu meminta bayaran berupa tubuhnya atas kebaikan yang selama ini ia dapatkan ia mungkin akan memberikannya, karena jika ia harus membayar segala uang yang Richard bayarkan kepada Pak Broto tempo lalu sangatlah tidak mungkin. Uang itu begitu banyak, bahkan bagi dirinya sendiri yang terlalu tak mampu untuk berbalas budi.
"Om..." Panggil Nasywa sambil menggoyangkan lengan Richard.
Richard mulai menggeliat tak nyaman ketika guncangan itu semakin kuat, perlahan ia membuka matanya dan tertegun melihat wajah Nasywa yang begitu cantik dengan mukena putih yang dikenakannya. Nasywa yang menyadari pun segera menjauhkan dirinya, perempuan itu mengulas senyum gugup sambil menatap Richard.
"S-shalat dulu Om, sudah subuh." Nasywa berucap gugup, takut jika Richard marah karena membangunkannya.
"Hhmm." Ucap Richard sambil beranjak berjalan melewati Nasywa menuju kamar mandi.
Nasywa melongo melihatnya, ia pikir laki-laki itu akan marah karena ia telah membangunkan tidurnya. Namun ternyata tidak, padahal ia sudah berpikir yang tidak-tidak kalau-kalau Richard akan membentaknya. Bahkan ketika Richard keluar dengan menggunakan baju koko dan mengimami shalat subuh mereka semakin membuat Nasywa tertegun, mendengar suara Richard yang begitu fashih melantunkan bait-bait ayat suci al-qur'an membuat Nasywa terheran-heran.
Mereka kini tengah duduk di meja makan dengan Nasywa yang menyiapkan sarapan untuk Richard, laki-laki itu telah memakai setelan kantornya dengan lengkap. Begitupula dengan Nasywa yang memakain seragam lengkapnya, Nasywa menjadi kikuk sendiri dengan keadaan di meja makan yang begitu hening. Mereka makan dalam diam, Richard memakan sarapannya sambil mengutak-atik tabletnya. Melihat-lihat e-mail yang dikirmkan oleh beberapa kliennya, ia melirik Nasywa sekilas kemudian kembali menyuapkan makananya.
"Nanti setelah pulang dari kantor saya jemput kamu, kita akan pergi ke rumah saya." Ucap Richard memberitahu.
"I-iya Om..." Ucap Nasywa yang malah terdengar seperti gumaman namun masih terdengar jelas oleh telinga Richard, laki-laki itu berdecak kesal membuat Nasywa segera menatap suaminya.
"Bisakah kamu tidak usah memanggil saya Om lagi? Usia saya masih muda, 27 tahun tergolong muda kan?"
"Itu juga udah tua bagi saya Om, usia kita terpaut 10 tahun." Gumam Nasywa.
"Kamu tadi bilang apa?"
"Eh? Oh gak apa-apa Om-... Eh maaf." Nasywa menundukan kepalanya ketika mendapati Richard yang memandangnya tajam.
"Jangan panggil Om!" Nada bicara Richard terlihat seperti ancaman membuat Nasywa sedikit takut.
"Terus saya harus panggil apa?"
"Panggil apa yang kamu suka tetapi jangan Om, saya tidak setua itu." Richard meminum air putihnya ketika makanan miliknya telah tandas.
"Mas?" Richard mengerjap, kenapa suara Nasywa ketika memanggilnya 'Mas' terlihat begitu merdu?
"I like it, panggil saja saya begitu." Ucap Richard ketika tersadar dengan lamunannya.
"Ehmm... Mas..."
"Hhmm.."
"M-Mas suka minum-minum ya?" Richard mengernyit kemudian mengalihkan pandangannya dari tablet ke wajah Nasywa.
"Minum?" Nasywa mengangguk.
"S-saya tadi gak sengaja ngelihat botol minuman di kulkas." Raut wajah Richard berubah ketika mendengar ucapan Nasywa, laki-laki itu berdehem sejenak.
"Sudah siang, ayo saya antar kamu sekolah." Ucap Richard sambil beranjak membuat Nasywa menghela nafasnya.
Nasywa menyusul langkah Richard yang berada beberapa jarak darinya, pikirannya masih melalang buana dengan Richard yang tak menjawab pertanyaannya. Apakah ia salah telah bertanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Sujud
SpiritualNasywa Arlana Al-Latief seorang gadis shalihah yang kehidupan sehari-harinya selalu diselingi isak tangis karena perbuatan Ibu dan Kakak tirinya, ia selalu diperlakukan tak manusiawi. Selalu disiksa dan dipaksa bekerja keras untuk menghidupi keluarg...