[1]

6.7K 473 63
                                    

"Ingatlah Hinata, sampai kapanpun kau adalah Hyuga."

Binar perak Hinata terbuka. Langit-langit putih kamarnya adalah hal yang pertama kali ia lihat dan hatinya merasa kosong. Entah kapan terakhir kali ibunya mendatanginya dalam mimpi. Segera ia beranjak, mengambil kalender lipat di nakas dan melihat tanggal.

28 Mei. Dua hari lagi. Pantas saja.

Kaki Hinata menggantung di tepi ranjang. Ujung kakinya menyentuh lantai perlahan, seiring dengan ia berusaha menghilangkan kantuk. Pintu tiba-tiba terbuka dan sosok Sai dengan senyum palsu menyebalkannya itu muncul di ujung pintu. Ia memakai celemek dan spatula di tangan. Ketika pintu terbuka, wangi sedap makanan segera tercium. Tiba-tiba saja perut Hinata terasa kosong.

"Tumben bangun sendiri." Komentar Sai.

Hinata tak membalas. Ia mengambil mantel tidur beludru untuk menutupi punggung polosnya, lalu mencuci muka. Setelah selesai, ia segera bergegas ke ruang makan. Sai sedang menyajikan sarapan yang dibuatnya, sementara Ino membaca koran pagi sembari mencomot satu apel, salah satu makanan penutup yang disediakan Sai pagi ini.

Binar peraknya menatap pasangan kekasih yang aneh itu. Yang perempuan sangat cantik, tapi kelakuannya seperti laki-laki. Sambil duduk, satu kakinya naik ke atas kursi sembari membaca koran. Sementara yang pria, terlalu cantik untuk disebut pria. Ia sering memikat hati dua jenis kelamin berlawanan hanya modal senyum serta sangat pandai memasak. Setiap kali melihat dua orang itu, Hinata selalu berpikir, mungkin Dewa sedang mabuk ketika sedang menciptakan mereka.

"Ino, kosongkan jadwalku selama tiga hari." Kata Hinata sembari duduk di depan Ino.

"Mulai besok, kan? Tenang saja. Aku selalu mengosongkan jadwalmu di hari itu." Ino menutup koran dan mengambil mangkuk nasi yang dibawa Sai. Hinata ikut menerima mangkuk nasi.

Sarapan kali ini... tidak ada bedanya dengan sarapan di hari-hari sebelumnya. Selalu masakan sekelas chef meskipun Sai tidak pernah ikut kursus ataupun sekolah memasak. Meskipun sederhana, tapi selalu membuat Hinata ingin memakannya lagi sampai akhirnya Ino mengingatkan kalau ia harus diet.

Mengambil sumpitnya, Hinata menatap sepiring tumis udang asam manis yang mengundang rasa lapar hingga liurnya menetes hanya dengan melihatnya saja. Setiap kali melihat masakan Sai sembari mengingat-ingat berapa kilogram berat yang harus ia turunkan, Hinata berharap masakan Sai tidak enak sekali saja.

"Kau harus memakannya." Kata Ino mengingatkan. "Kau tidak akan membaca skrip dengan perut keroncongan, kan?"

"Untuk apa aku memakannya kalau pada akhirnya aku harus minum minuman diet?"

"Diam dan makanlah." Kata Sai sembari menjejalkan sepotong udang ke mulut Hinata. Air mata batin Hinata mengalir deras. Masakan Sai selalu enak, bahkan melebihi resto termahal sekalipun.

"Makanan paling enak adalah makanan yang membuat orang yang memakan lupa diet." Celetuk Hinata dengan mulut penuh udang dan nasi.

"Makanan paling enak adalah makanan yang dimakan ketika sedang lapar." Ino lebih realistis, atau mungkin sedang menyindir Hinata yang selalu lapar karena harus diet padahal itu akibat perbuatan Ino sendiri.

"Kau menyindir dirimu sendiri." Balas Hinata.

BRAK!

Sai membanting sumpit dan melempar senyum mautnya pada dua gadis di depannya itu. Ia tak suka ada keributan di depan makanan. Ideologi koki yang ia ciptakan sendiri.

"Nikmati sarapan kalian, anak-anak."

Hinata menunduk, begitu juga dengan Ino. Mereka lalu saling bertatapan sengit dan melempar makian lewat tatapan tajam mereka.

A Perfect ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang