"Hey, Zayn!" Aku setengah berlari menghampiri Zayn yang sedang duduk membelakangiku disebuah kursi panjang. Yap, kursi yang sama seperti kursi yang didudukinya saat aku bertemu dengannya kemarin. Posisi duduknya pun sama.
"Hey," sapanya saat aku berhasil duduk tepat disebelah kanannya. "Kau menepati janjimu, Brie."
"Yeah," aku tersenyum bangga. "Tentu saja aku menepati janjiku. Aku bukan tipe orang yang suka ingkar janji, Malik."
"That's great."
Aku mengangguk kecil dan terkekeh pelan, "Anyway, kau sudah berapa lama menunggu disini?"
"Menunggu? Menunggu siapa?"
Aku memutar kedua bola mataku, "Tentu saja aku. Siapa lagi?"
"Kau pede sekali rupanya," kini giliran Zayn yang terkekeh pelan. "Aku kan sudah bilang, bahwa aku suka playground ini. Aku suka tempat yang sunyi dan sepi. Jadi, aku kesini bukan hanya untuk menemuimu, Brie. It's because i love this place."
Malu.
Itulah yang kurasakan sekarang. Malu rasanya sudah bertingkah terlalu percaya diri didepan orang yang baru dua hari kukenal, Zayn Malik.
Memang sih, nada bicaranya tadi bergurau------ tapi tetap saja aku malu. Bahkan aku yakin warna pipiku sudah berubah menjadi merah sekarang.
"Brie?" Ia mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajahku, sehingga lamunanku buyar. "Aku hanya bercanda kok. Aku kesini bukan hanya karena aku suka tempat ini------ tapi karena, uh.. Ingin menemuimu juga."
"Oh," sahutku, berusaha mati-matian untuk tidak menghela nafas lega. Karena kalau aku melakukan itu, kelihatan sekali bahwa aku memang tersinggung atas ucapannya tadi. "Memangnya kau ke playground ini berapa kali dalam seminggu?"
"Setiap hari." Jawab Zayn yang disambut anggukan kecil olehku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa dia tidak memiliki aktifitas yang lebih penting untuk dikerjakan selain duduk dikursi panjang yang disediakan sebuah playground? Entahlah, itu sama sekali bukan urusanku.
Waktupun berjalan dengan cepat. Tidak terasa sudah dua jam aku berbincang-bincang dengan Zayn. Dibalik wajahnya yang pendiam dan cool, ternyata ia adalah orang yang asik diajak bicara. Selera humornya juga bagus, tak jarang aku tertawa keras akibat lelucon yang ia lontarkan.
Contohnya sekarang. Zayn baru saja melontarkan sebuah lelucon yang menyebabkan aku kehilangan kendali; tertawa sangat keras sampai-sampai perutku sakit. Aku memegangi perutku dan menyelesaikan tawaku yang susah untuk dihentikan, "Zayn.. Hahaha... Cukup... Aku... Aku ingin pipis.. Hahaha.."
"Kau serius ingin pipis?"
"Ya."
"Sayangnya disini tidak disediakan fasilitas toilet, Brie."
"Hmm," aku bergumam tak jelas. "Lebih baik aku pulang sekarang ya, Zayn? Hari semakin gelap dan sebentar lagi ayahku akan pulang kerja. Lagipula aku ingin cepat-cepat buang air kecil."
Entah ini hanya karena aku salah lihat atau bukan------ tapi sekilas aku melihat raut wajah Zayn berubah menjadi------ kecewa? Uh, tidak, tidak! Aku tidak ingin kepedean lagi.
"Oke," ucapnya. "Hati-hati ya, Brie."
"Bisakah kita bertemu lagi dilain waktu?" Tanyaku. Zayn mengangguk, "Tentu. Ditempat yang sama, ya?"
"Oke. Bye, Zayn!"
"Bye, Brie!"
Itulah pertemuan keduaku dengan Zayn.
Zayn adalah orang yang baik.
Ia merupakan teman pertamaku di London.
Aku harap aku bisa mempunyai hubungan lebih dari sekedar teman dengannya------- bukan, bukan pacar! Maksudku----- seperti, sahabat mungkin?
Semoga saja.
***
Pendek banget. HaBtw baca ya short story baru akuuuu
Morning Alarm
Itu ss Niall!
Vommentsssss<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Playground ➳ Zayn Malik
FanfictionLove at the first sight, eh? Fanfiction #4 [22th November] © 2014 by Zahwa.