Saat ini aku sedang sarapan bersama Ayah. Kulihat ia melahap makanannya dengan cepat sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Sementara itu, aku hanya melamun sambil mengaduk-ngaduk sereal yang ada dihadapanku.
"Brie, mengapa kau tidak menghabiskan serealmu?" Tanya Ayah dengan raut wajah bingung. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan tersenyum tipis. "Aku sama sekali tidak lapar."
"Apakah ada masalah?"
Ya. Dan itu semua tentang Zayn.
"Tidak," Dustaku dengan nada meyakinkan. "Tidak ada masalah apapun."
"Kau yakin?"
Aku mengangguk.
Ayah mengernyitkan dahinya, kemudian menghela nafas. "Kau tidak bisa berbohong kepada orang yang telah membesarkanmu, Brie. I know everything about you, termasuk ketika kau berbohong. Tapi, usiamu sudah besar----- dan Ayah yakin, kau bisa menyelesaikan masalahmu sendiri. Just stay strong, okay?"
Geez, terima kasih telah memberikan sosok Ayah yang sangat pengertian untukku.
"Yeah, thanks, Dad."
Keheningan melanda dan pikiranku kembali melayang pada kejadian itu. Kejadian dimana Zayn mengatakan bahwa ia mencintaiku.
Saat itu aku benar-benar shock karena tidak menyangka orang yang kucinta akan membalas perasaanku. Tapi disisi lain, aku sedih. Zayn menyangka bahwa aku tidak mencintainya----- padahal jelas-jelas aku sangat amat mencintainya. Sempat terbesit dibenakku untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya kepada Zayn saat kami dikedai ice cream, tapi aku tidak mempunyai keberanian yang cukup.
"Brie," Ayah berdeham dan menatapku dalam-dalam. "Apakah ini semua ada hubungannya dengan Zayn Malik?"
Apa?
Darimana Ayah tau tentang Zayn?
Aku bahkan tidak pernah memberitahunya bahwa aku mempunyai teman di London.
Seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenakku, Ayah berdeham. "Beberapa hari yang lalu saat aku pulang kantor, aku tidak sengaja melihatmu sedang duduk berdua dengan seorang pria disebuah Playground yang terletak didekat apartment ini."
"Lalu, bagaimana ayah tau bahwa nama pria itu adalah Zayn Malik?"
"Uh," Ayah menggaruk bagian lehernya dan meneguk air putih yang ada diatas meja. "Ayah tidak sengaja mendengar percakapanmu dan Cellia ditelpon kemarin. Maafkan aku-----"
"Tak apa-apa," Potongku dengan cepat. "Aku justru senang kalau Ayah tau masalahku tanpa aku harus menceritakannya terlebih dahulu."
"Benarkah? Kau tidak marah pada Ayah?"
Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. "Sama sekali tidak."
Tak lama, ponsel Ayah yang tergeletak diatas meja bergetar. Mengambil benda pipih berwarna hitam itu, Ayah mengangkatnya.
"Hallo.... Iya dengan saya sendiri.... Apa? Mengapa mendadak sekali?..... Tidak, saya tidak bisa..... Tapi ini sangat mendadak.... Astaga...." Ayah menghela nafas berat. "Oke... Baiklah."
Ia menutup telponnya dan menatapku dengan tatapan sendu. Mengernyitkan dahi, aku menggenggam tangan Ayah. "Ada apa?"
"Brie..."
"Hm?"
Ayah mendengus dan membuang muka. "Kita harus kembali ke Paris."
What? "Apa? Mengapa begitu mendadak?"
"Ayah harus mengurus cabang perusahaan kita yang ada disana," Ia menopang dagu dengan kedua tangan. "I'm sorry."
Ya tuhan..
Itu berarti... Aku harus meninggalkan Zayn?
Kurasakan mataku memanas. Aku menunduk dan merasakan bulir demi bulir airmataku mulai berlinangan.
"Kapan kita akan berangkat?" Lirihku.
"Besok sore."
Besok?
Jeez, bahkan aku belum siap meninggalkan Zayn...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Playground ➳ Zayn Malik
FanfictionLove at the first sight, eh? Fanfiction #4 [22th November] © 2014 by Zahwa.