"Dress itu cocok sekali dipakai olehmu, Brie."
Zayn tersenyum sekilas, masih sambil memperhatikan penampilanku hari ini dari ujung kepala hingga ke mata kaki. "Wajahmu terlihat cerah."
"Thanks." Aku tersenyum pada Zayn dan duduk disampingnya. Ya, kami sedang berada di playground. Ini pertemuan ketiga kami, dan aku sangat bersyukur bisa mengenal pria sebaiknya. "Uhm, Zayn?"
Zayn menoleh dan menautkan kedua alis tebalnya, "Ya?"
"Kau tau? Ayahku bilang, kami harus menetap di London."
Detik itu juga, wajah Zayn berubah menjadi ceria dan antusias. "Benarkah?"
"Ya." Sahutku sambil mendengus pasrah. Zayn menatapku bingung dan menepuk pelan pundakku. "Kenapa kau sedih, Brie?"
"Aku tidak mau menetap di London, Zayn. Aku rindu berziarah ke makam ibuku yang memang terletak di Paris. Aku juga rindu bertemu teman-temanku----- aku memiliki banyak teman di Paris, tidak seperti disini."
"Tapi kalau kau kembali ke Paris, artinya kita tidak akan bisa bertemu lagi." Gumamnya dengan suara pelan, namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Seulas senyum terukir diwajahku, "Kau tidak mau kehilanganku, ya?"
Seakan terkejut mendengar gurauanku, Zayn terkesiap dan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Kau mendengarnya?"
"Tentu saja."
"Ugh," ia menggaruk tengkuknya dan membuang muka. "Lupakan saja."
Hening.
Aku dan Zayn seolah tenggelam dalam lamunan masing-masing. Aku tidak tau apa yang ia pikirkan, karena aku tidak bisa membaca pikiran orang. Tapi dari raut wajahnya, ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Sedangkan aku? Well, aku memikirkan keadaan di Paris sekarang ini. Aku rindu Paris, aku rindu semua yang ada disana. Kehidupanku memang berada di Paris, bukan di London.
Aku merindukan Cellia------ sahabatku satu-satunya. Kami sudah bersahabat sejak kami duduk di bangku sekolah menengah pertama. Cellia adalah gadis yang baik dan cantik. Ia memiliki rambut panjang berwarna cokelat bergelombang yang bagus dan kulit yang bersih. Aku sangat menyayangi Cellia, begitu juga dia. Cellia sangatlah menyayangiku.
Kami masih sering berhubungan lewat video call atau voice call. Tapi tetap saja, aku merindukannya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Aku menoleh kepada Zayn yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya. Aku menggeleng pelan, "Tidak ada. Kau?"
"Bohong," sergahnya cepat. "Kau pasti sedang memikirkan sesuatu."
"Sebenarnya, ya," koreksiku. "Aku sedang memikirkan Cellia, sahabatku. Aku rindu padanya, Zayn."
"Kau yakin hanya dia yang kau pikirkan?"
Aku mengangguk.
"Kukira kau sedang memikirkan pacarmu yang ada di Paris."
"Hey!" Aku menonjok pelan lengan Zayn. "Aku tidak punya pacar."
"Really?" Tanyanya lagi yang disambut anggukan olehku, "Ya."
"Bagaimana bisa?"
Kini giliranku yang menautkan kedua alisku, "Apa maksudmu?"
"I mean, bagaimana bisa kau tidak punya pacar? Well, kuakui, kau cantik. Kau juga baik dan tidak centil seperti kebanyakan wanita lainnya. Yah, walaupun aku baru bertemu tiga kali denganmu, tapi aku bisa langsung menyimpulkan kalau kau memang wanita yang baik, Brie." Ujar Zayn.
Kurasakan pipiku memanas mendengar ucapannya yang 'terkesan' sedikit memujiku. Aku langsung menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang sudah berubah menjadi tomat rebus ini.
Zayn terkekeh, "Aw, you're blushing, Brie! How cute."
"Shut up, Malik."
Dan kira-kira seperti inilah pertemuan ketigaku dengan Zayn Malik.
He's cute.
Totally cute, i guess.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Playground ➳ Zayn Malik
FanfictionLove at the first sight, eh? Fanfiction #4 [22th November] © 2014 by Zahwa.