A/N: Emily Rudd as Brie on multimedia;)
ENJOY!
***
"Zayn." Aku menoleh kearah Zayn yang sedang berbaring tepat disebelahku. Hari sudah hampir malam, tapi kami memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama dengan berbaring direrumputan yang ada diplayground. "Apa kau bosan berteman denganku?"
Zayn menautkan kedua alisnya dan menggeleng pelan. "Tidak. Tidak sama sekali. Kenapa kau bertanya seperti itu, Brie?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya takut kau bosan berteman dengan orang yang membosankan sepertiku."
"Kau tidak membosankan sama sekali," Sergahnya cepat. "Brie, listen to me. Kau orang yang asik diajak berbicara dan lucu. Kau sama sekali tidak membosankan. Justru seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa kau bosan berteman denganku?"
Kini giliran aku yang menggeleng. "Tidak. Kau juga asik dan baik, Zayn. Aku menyukaimu."
Raut wajahnya berubah setelah aku mengatakan kedua kata itu. Astaga dia salah paham, pikirku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan berdeham. "Uh, maksudku... Aku menyukaimu----- karena kau teman yang baik, Zayn."
"Uhm, i-iya.. Aku tau, kok."
Kami terdiam cukup lama sampai akhirnya aku kembali memulai percakapan. "Tell me about yourself."
"Ladies first."
Aku mendengus, "Ugh, oke oke."
"Aku lahir di Paris dalam keadaan hanya memiliki satu orangtua, yaitu ayah. Ibuku meninggal akibat pendarahan hebat saat melahirkanku. Kadang aku merasa bersalah dan berpikir bahwa akulah yang menyebabkan ibuku meninggal. Aku merindukan ibuku, Zayn. Aku membutuhkan sosok ibu."
Zayn mendengarkan ceritaku dengan seksama. Akupun kembali melanjutkan ceritaku.
"Kadang aku merasa kesepian ketika ayah sibuk bekerja. Aku merasa sendiri, ditambah lagi, aku adalah anak tunggal. Tapi semuanya berubah karwna kehadiran Cellia. Ia merubah hidupku. Sosoknya yang manis dan pengertian membuatku tidak merasa kesepian lagi. Aku merasa hidup, Zayn."
Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan ceritaku. "Tapi sayangnya, aku harus pindah ke London karena pekerjaan ayahku. Aku meninggalkan Cellia----- sahabat, sekaligus orang yang telah merubah hidupku menjadi lebih berwarna. Aku berfikir, kalau aku pindah ke London, aku tidak akan lagi menemukan sosok teman sepertinya."
"Tapi ternyata pemikiranku salah, Zayn. Aku bertemu denganmu. Kau juga sama baiknya dengan Cellia. Kalian berdua telah mewarnai hidupku."
Aku tersenyum dan menoleh kearah Zayn yang sedang memperhatikanku.
Dan hal yang tak pernah kuduga pun terjadi. Zayn memelukku. Ia memelukku dengan sangat erat. "I'm sorry about your mom, Brie. Kau harus tetap kuat dan tegar. Aku yakin ibumu tak akan mau melihat putri cantiknya bersedih."
Aku membalas pelukan Zayn. "Thank you, Zayn."
Setelah cukup lama, Zayn melepaskan pelukan kami. Ia kembali menatap langit yang sekarang sudah mulai gelap.
"Aku lahir di Bradford," Zayn mulai bercerita. "Tapi kemudian, aku pindah ke London karena ada suatu hal yang menyebabkan aku sangat ingin pindah kesini."
Suatu hal? Apa ia akan menceritakannya juga kepadaku?
"Awalnya kedua orangtuaku sangatlah tidak setuju dengan permintaanku untuk pindah ke London. Mereka menolaknya mentah-mentah dengan alasan, tidak mau jauh-jauh dari anak mereka. Tapi setelah aku memohon-mohon, akhirnya mereka luluh dan menyetujui permintaanku."
Aku mengangguk tanda mengerti. "Kau bilang, ada suatu hal yang menyebabkan kau sangat ingin pindah dari Bradford. Memangnya apa suatu hal itu, Zayn? Tapi kalau kau tidak ingin menceritakannya tidak apa-apa kok aku-----"
"Kau mau mendengarnya?" Tanya Zayn yang disambut anggukan cepat olehku. Entah kenapa aku sangat penasaran dengan hal-hal yang berhubungan dengannya.
"Dulu, sewaktu aku masih tinggal di Bradford, aku mempunyai seorang kekasih." Tuturnya, yang entah kenapa membuatku sedikit sesak. Ya tuhan, sebenarnya aku ini kenapa?
"Namanya Felencia. Ia gadis yang manis, sama sepertimu. Aku mengenalnya sejak kecil karena rumah kami bersebrangan. Dan aku mulai menyukainya saat duduk dibangku junior high school. Setelah cukup lama pendekatan, akhirnya kami resmi menjalin hubungan."
Sekarang aku merasakan hatiku sakit pada saat Zayn mengatakan bahwa ia menjalin hubungan dengan gadis yang bernama Felencia itu. Sialan. What's wrong with me?!
"Tapi hubungan kami tak bertahan lama. Felencia meninggal karena ia menderita penyakit leukimia. Ia meninggalkanku untuk selamanya, Brie. Padahal pada saat itu, aku masih membutuhkannya. Aku masih sangat mencintainya." Lanjut Zayn.
Jeez, kenapa hatiku semakin sakit sekarang? Apa aku----- menyukai Zayn?
Tidak. Tidak mungkin.
Aku bahkan baru bertemu dengannya lima kali.
"Meninggalnya Felencia menyebabkanku hancur, Brie. Aku jadi sering merokok dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Kenangan-kenangan kami yang membuatku jadi seperti itu, ditambah lagi, semua kenangan kami berada di Bradford. Aku ingin sekali melupakan Felencia, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa melupakannya kalau aku terus menerus tinggal di Bradford. Maka dari itu, aku memutuskan untuk pindah ke London." Zayn mengakhiri ceritanya dengan senyuman kecil.
Aku menatap Zayn prihatin, kemudian memeluknya dengan erat. "I'm sorry for your lost, Zayn. Stay strong. Aku juga pernah kehilangan, dan rasanya memanglah sakit. Aku kehilangan ibuku, dan kau kehilangan Felencia."
Zayn membalas pelukanku. "Thank you, Brie. Uhm, bolehkah kita dalam posisi seperti ini terus? Ini sungguh nyaman."
"Tentu."
Dan akhirnya kami menghabiskan waktu dengan berbaring sambil berpelukan diatas rerumputan.
Jantungku berdebar setiap kali Zayn mengusap punggungku dengan lembut.
Dan pada saat itulah aku menyadari satu hal.
Satu hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Aku mencintai pria ini.
Aku mencintai Zayn Malik,
Pria yang baru bertemu denganku lima kali disebuah playground.
***
Oke absurd.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playground ➳ Zayn Malik
FanfictionLove at the first sight, eh? Fanfiction #4 [22th November] © 2014 by Zahwa.