• huit

6.8K 797 59
                                    

Brie's POV

3 hari berlalu dan aku masih saja belum bisa memaafkan Zayn. Aku tau ini berlebihan----- tapi aku merasa, aku belum siap untuk menemuinya. Jangan kan bertemu, mengangkat telfonnya saja aku masih ragu. Padahal Zayn selalu saja menelfonku dan mengirimiku pesan yang kebanyakan berisi 'permintaan maaf'.

Dan entah kenapa, setelah kejadian itu aku jadi sering melamun. Bahkan ayah bilang, akhir-akhir ini aku seperti orang linglung yang kehilangan arah.

Ternyata Zayn sangat berpengaruh besar terhadap kehidupanku.

"Hi, Brie!"

Setelah nada sambung kedua, suara Cellia terdengar. Ya, aku memutuskan untuk menelfonnya karena aku bingung ingin bercerita kepada siapa lagi.

"Hi, Cel! How are you?"

"I'm fine. I miss you so much, Brie!"

"Yeah, i miss you too...."

"Uhm, Brie? Kau sedang ada masalah ya? Ada apa? Suaramu seperti orang------ tidak bersemangat?"

"Kau memang selalu mengerti aku, Cel. Yah, aku memang sedang ada masalah dengan----- Zayn."

"Zayn Mellark? Pria yang kau temui disebuah playground?"

"It's Malik."

"Oh, ya, Malik i mean. Ada masalah apa kau dengannya?"

Akupun langsung menceritakan semua kejadian di hari itu kepada Cellia, dan dia mendengarkannya dengan seksama. Tak dapat kubantah, Cellia merupakan pendengar yang baik. Ia juga sering memberikan sebuah solusi terhadap setiap masalah yang kuhadapi.

"Brie? Apakah kau menyukai Zayn?" Tanyanya dari sebrang sana yang langsung membuat mataku terbelalak. Dalam hati, aku spontan menjawab 'ya'. Tapi----- apakah aku harus memberitahunya sekarang? Bagaimana kalau ia menganggapku aneh karena menyukai pria yang baru kukenal dalam beberapa hari?

"Oh, eh," aku berdeham. "A-aku.. Aku.."

"Mengaku saja."

"Uhm.. If i say 'yes', pasti kau akan menganggapku aneh."

"Lho? Aneh kenapa?"

"Karena telah menyukai pria yang baru kutemui dalam beberapa hari disebuah playground."

Kudengar ia terkekeh pelan. "I won't say like that, hun. Kalau memang kau menyukainya, ya aku akan mendukungmu. Lagipula, apa salahnya menyukai pria yang baru kau temui dalam beberapa hari? Maybe, you love him at the first sight, eh?"

Aku tersenyum lebar. "I don't know Cel... I'm just... Ugh, aku----- aku tidak menyangka kalau Zayn akan membentakku seperti itu. Kau tau kan aku tidak bisa dibentak oleh siapapun?"

"Brie, kasih kesempatan Zayn untuk berbicara denganmu. Jangan kau diamkan seperti ini. Kalau memang kau belum bisa memaafkannya, kau harus menghubunginya atau menemuinya. Yah, itupun kalau kau menuruti saranku."

"Aku belum siap untuk menemuinya, Cel."

"Rilex, girl. Tarik napas dalam-dalam, kemudian hembuskan. Dan coba olahraga lain yang dapat membuat tubuhmu rileks. Aku yakin, kau seperti ini hanya karena kau menyukainya, bukan? Mengapa kau tidak mencoba untuk menemuinya sore nanti? Zayn bilang, ia akan selalu menunggumu, kan? Jangan buat ia terlalu lama menunggu, Brie."

Perkataan Cellia benar. Memang sih, tadi malam, Zayn mengirimiku pesan bahwa ia akan selalu menungguku di playground. Tapi aku tidak yakin kalau ia masih menungguku. "Bagaimana kalau dia tidak ada disana? Bagaimana kalau ia berbohong? Bagaimana kalau ia hanya mempermainkanku? Bagaimana kalau ia------"

Cellia dengan cepat menyergahku. "Hey, hey, hey, Brie. Calm down! Apa salahnya mencoba?"

"O-okay... Aku akan menemuinya sore nanti. Thank you, Cel."

***

Sorenya, aku keluar dari apartmentku dengan mengenakan sweater abu-abu karena suhu udara sangatlah dingin. Kulangkahkan kakiku menuju playground yang terletak didekat apartmentku. Ya, aku akan menemui Zayn.

Sesampainya disana, aku menghirup napas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Aku mencoba melangkah lebih dekat dan kulihat Zayn sedang duduk dikursi panjang yang biasa kami duduki.

D-dia.. Dia masih menungguku?

Berarti ia tidak berbohong?

Menyadari kehadiranku, Zayn menoleh dan tersenyum kecil. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. "Akhirnya kau datang, Brie." Ujarnya dengan suara serak. Sekarang, dia sudah berdiri tepat dihadapanku dan aku makin bisa melihat wajahnya yang tampak----- kelelahan? Kantung matanya membesar dan berwarna gelap. Matanya juga sayu. Oh my god------ jangan-jangan... Ia menginap disini seharian hanya untuk menungguku?

"Z-zayn... Kau----- menyeramkan."

"Yeah, sudah kubilang, bukan? Aku akan tetap menunggumu, walau harus menginap disini semalaman," Zayn menatapku intens dan meraih kedua tanganku. Ia menggenggamnya erat. "Brie, listen. Aku minta maaf, ya? I'm really really sorry. Aku tidak bermaksud untuk membentakmu. Aku termakan oleh emosi. I'm sorry, Briana."

Aku menunduk dan mengangguk pelan. "Aku sudah memaafkanmu, Zayn. Aku juga minta maaf karena sudah membuatmu menginap disini semalaman," Kali ini aku mendongak, memberanikan diri untuk membalas tatapannya yang lembut. "Aku tidak menyangka kalau kau rela melakukan semua ini untukku."

"Aku rela melakukan semua hal demi orang yang kucintai, Brie."

What? Apa aku tidak salah dengar? "What a funny joke, Malik." Ujarku sambil menonjok pelan lengannya, mencoba untuk menanggapi perkataannya dengan candaan. Ia tidak betul-betul mengatakannya kan?

Dengan cepat Zayn kembali meraih kedua tanganku dan memperdalam tatapannya. "Aku tidak bercanda, Brie. I'm serious."

"T-tapi.. Tapi-----"

"Ssssh," Ia meletakkan jari telunjuknya ke bibirku, membuatku kembali terdiam. "Kau tidak perlu menanggapinya, Brie. Aku yakin kau tidak mempunyai perasaan yang sama denganku, kan? Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya padamu, okay? Ayo kita ke kedai ice cream, aku traktir."

Zayn menarik tanganku menuju kedai ice cream, sementara aku masih terus terpaku memikirkan kata-katanya.

Kau salah, Zayn Malik.

Aku juga mencintaimu.

***

Playground ➳ Zayn MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang