1. Merinding

22.4K 1.6K 361
                                    

Suasana sekolah tampak begitu sepi. Semua murid sedang berkutat dengan jadwal mereka di kelas masing-masing. Ada yang benar-benar memperhatikan guru, ada yang berusaha menahan kantuk, ada juga yang masa bodoh dan lebih memilih untuk bermain ponsel di bawah meja. Seperti biasanya, hari Senin benar-benar hari paling buruk untuk semua orang. Kemalasan masih membelenggu tubuh dan pikiran mereka setelah menghabiskan waktu melakukan apa yang mereka mau di hari Minggu.

Namun, suasana tenang itu langsung pecah seketika saat bel pertanda istirahat menyeruak ke seluruh ruang kelas. Tanpa mau peduli bahwa guru mereka masih berdiri di depan kelas, para siswa secara serempak bangkit dari duduk mereka. Punggung mereka terasa sakit, pantat juga panas, kepala rasanya mau meledak. Dan tepat setelah para guru keluar dari kelas, semua siswa berbondong-bondong untuk menyerbu kantin. Mengisi ulang energi mereka supaya tidak jatuh pingsan di pelajaran selanjutnya.

Tak terkecuali dengan Lovata Auristela, siswa kelas 11 IPA 1 yang khas dengan kacamata besar dan tebal yang selalu bertengker di hidung mungilnya. Setelah membereskan buku-buku, Lova segera menghampiri meja Agus, sahabatnya dari pertama masuk SMA Nusa Bangsa. Yang cupu, berteman dengan yang cupu juga.

"Aku masih enggak habis pikir sama Pak Randi. Gimana kita bisa paham materi kalau penjelasan yang ditulis malah ketutup sama badan gendutnya?" Agus bersuara ketika mereka baru keluar dari ruang kelas. Dia tidak pernah bosan membicarakan Pak Randi, guru fisika dengan rambut memutih sempurna yang penjelasannya masih tidak bisa dimengerti di tahun kedua. "Sayang, Bu Dwi malah ngajar kelas sebelah, bukannya kelas kita."

Lova terkekeh mendengar rentetan keluhan Agus. Dia juga setuju, penjelasan Pak Randi tidak bisa langsung masuk ke kepala saat itu juga. Mereka berdua harus belajar sepulang sekolah supaya bisa menaklukkan soal-soal ulangan harian nantinya. "Ya udah, mau gimana lagi? Kita udah coba buat kasih tahu Pak Randi, tapi masih gitu-gitu aja. Mungkin emang kita harus belajar mandiri, jangan mau disuapi terus."

Agus tidak pernah habis pikir dengan  Lova yang selalu memandang semua hal dari sisi positif, padahal tidak semua hal memang baik untuk manusia. Dia lebih memilih diam dan segera mengantri makanan. Dan seperti biasa, dia selalu menempatkan Lova di depannya.

Lagi, suasana tenang yang awalnya menyelimuti antrean siswa yang hendak membeli bakso, sekarang terdengar bisik-bisik. Selalu saja begitu jika ada bintang sekolah di tengah-tengah siswa biasa, bukan? Apalagi, jika bintang sekolah itu masih bisa diperjuangkan karena belum memiliki kekasih. Ada yang curi-curi pandang, ada yang memperhatikan dengan tatapan malu-malu, ada juga yang secara terang-terangan memperlihatkan ekspresi kekaguman. Namun, sayangnya, bintang sekolah itu selalu acuh dengan orang-orang di sekitarnya.

"Gue dengar dari anak-anak, lo tolak si Tamara. Emang benar?" Seseorang ikut bergabung di antrian sebelah, antrian nasi goreng. Orang itu menepuk bahu bintang sekolah yang dari tadi diperhatikan para siswi. "Yang benar aja Tamara lo tolak? She is the most beautiful girl in our school."

"Gue enggak butuh yang cantik. Gue butuhnya cewek yang bisa buat gue merasa dicintai."

Seketika, bulu kuduk Lova berdiri saat mendengar suara berat itu. 2 tahun dia sekolah di SMA Nusa Bangsa, rasanya baru kali ini dia mendengar suara itu. Selain suaranya yang berat, kalimat yang keluar dari mulut orang itu juga membuat Lova merasa ingin mengangkat kepalanya, untuk sekedar melihat wajah orang itu. Perlahan tapi pasti—sambil melangkah supaya tidak ketahuan— Lova melirik ke arah samping sambil mengangkat kepalanya. Jantungnya mau copot saat itu juga. Karena ternyata, orang itu juga sedang meliriknya.

Arvin Zachary, tercetak dengan jelas di name tag orang itu.

"Si Tamara kurang cinta apa lagi sama lo? Dia enggak pernah berhenti kejar-kejar lo dari tahun kemarin. Udah nembak lo berulang kali, udah usaha berubah seperti yang sekiranya lo suka, berjuang mati-matian supaya bisa jadi ketua tim cheerleader. Kurang apa lagi, Vin?" Orang yang berada tepat di belakang laki-laki bernama Arvin itu kembali bersuara. Namanya Julian, sahabat Arvin dari kecil.

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang