16. Ketakutan Besar

5.2K 826 20
                                    

Rasanya, sudah begitu lama Lova tidak berdiri di depan gerbang untuk menunggu angkot seperti sekarang. Biasanya, begitu keluar dari kelas, Arvin sudah berdiri di depan kelasnya, tersenyum hangat, lalu menggenggam tangannya menuju parkiran tanpa mempedulikan pandangan orang-orang. Namun, berhubung laki-laki itu sedang sibuk untuk membina para anggota olimpiade, jadilah Lova harus rela pulang sendiri. Dia sama sekali tidak keberatan. Karena sebenarnya, Lova merindukan momen seperti ini. Toh, masih ada Agus yang akan menemaninya beberapa saat ke depan.

"Kamu curang, Va. Dapat nilai bagusnya sendirian, enggak ajak-ajak aku." Untuk kesekian kalinya, Agus merajuk mengenai nilai ulangan biologi mereka yang sangat berbeda. Pada akhirnya, Agus harus rela ditempatkan di ulangan remedial.

Lova menyipitkan matanya. "Aku udah ajak kamu buat belajar bareng kemarin, Gus. Salah kamu sendiri yang lebih memilih makan di kantin daripada ikut aku. Jangan salahin aku, dong," jawab Lova dengan kesal. Untung saja hanya ada mereka berdua di depan gerbang saat ini, jadi Lova tidak sungkan untuk meluapkan kekesalannya. "Kan, kamu udah tahu kalau cara ngajar Kak Arvin itu efektif buat kita berdua. Harusnya, kamu ikut aku, Gus."

"Gimana bisa belajar kalau perutnya kosong, Va? Lagian, udah kejadian ini, kita enggak bisa mengubah apa-apa." Kemudian, Agus merangkul tangan Lova. Wajahnya sangat memelas. Tidak perlu diperjelas untuk apa, Lova tahu jawabannya. "Kamu jangan bilang-bilang sama mama aku, ya, Va? Nanti, aku traktir makan bakso, deh."

Alis sebelah kanan Lova terangkat. Makanan adalah kelemahan terbesar dalam persahabatan mereka selama ini. Dan tentang sogok menyogok supaya informasi remedial tidak sampai ke telinga orang tua, merupakan budaya mereka sejak dulu. Jika keduanya mendapatkan nilai anjlok, mereka nikmati masa sulit itu bersama-sama. Mumpung hanya Agus yang diremedial, tidak ada salahnya Lova membantu dengan tutup mulut pada orang tua Agus.

"Beneran ditraktir, 'kan?" Sekali lagi, Lova berusaha memastikan. Dia tersenyum lebar saat Agus menganggukkan kepalanya. "Ya-"

"Pulang sama siapa?"

Keduanya menoleh, mendapati Julian sedang duduk di atas motornya sambil menatap Lova. Tidak ada lagi ekspresi menyebalkan. Justru, barusan Julian sempat bertanya, tetapi tidak didengar dengan jelas oleh Lova maupun Agus.

Untuk sesaat, Lova bertukar pandang dengan Agus yang masih menggandengnya. Kemudian, beralih pada Julian. "Kak Julian nanya kita?"

"Gue nanya lo doang. Arvin sibuk buat persiapan olimpiade dan lo udah di depan gerbang kayak gini. Gue nanya, pulang sama siapa? Naik angkot?" Saat Lova mengangguk, Julian tiba-tiba saja memberikan helm padanya. Helm yang selama ini hanya menjadi hiasan di jok belakang motornya. "Gue antar."

Lova mengerjapkan matanya berulang kali. Dan lagi, dia bertukar pandang dengan Agus, melemparkan tatapan penuh tanya satu sama lain. Tidak mungkin keduanya mengalami gangguan pendengaran dalam waktu yang bersamaan, bukan? Masih dengan posisi yang sama, Lova kembali buka suara. "ENggak usah, deh, Kak. Aku naik angkot aja. Enggak perlu repot-repot segala."

"Gue enggak repot. Gue melakukan ini buat menebus kesalahan gue sama lo." Julian menangkap keraguan di wajah Lova. "Gue tahu, lo udah maafin gue. Tapi, gue enggak puas hanya dengan itu. Gue merasa perlu menebus semua kesalahan gue selama ini. Salah satunya dengan cara ini, bantu lo di saat Arvin enggak bisa."

"Jangan, Va. Bisa aja dia ninggalin kamu di tengah jalan," bisik Agus, berusaha menahan kepergian Lova dengan Julian. "Aku punya firasat buruk kalau kamu ikut sama dia. Mending kamu ikut aku aja."

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang