14. Merawat Arvin

5.4K 801 36
                                    

Dengan penuh kesabaran, Lova menuntun Arvin untuk memasuki rumahnya. Beberapa kali dia meringis, tidak tega dengan keadaan Arvin yang sekarang. Jalannya harus pelan-pelan, harus didampingi supaya tidak jatuh, belum lagi dengan tongkat yang beberapa kali menjadi penghalang karena Arvin tidak biasa. Bahkan, dia juga harus diantar jemput oleh Pak Ilham karena tidak bisa membawa motor ke sekolah. Arvin jelas risih dengan semua perubahan ini, tapi keadaan yang menuntutnya menerima.

"Pelan-pelan, Vin." Sebuah suara membuat Arvin dan Lova mengangkat kepala secara bersamaan. Di ambang pintu, berdiri Bu Indira yang sedang tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka. "Pasti bahagia banget diantar pulang sama pacarnya, nih."

Arvin tertawa sambil terus melangkah, sedangkan Lova hanya bisa melemparkan senyum kikuk. "Iya, dong, seneng banget diperhatikan Lova sampai segininya. Pak Ilham aja kayak yang iri sama kita. Dari tadi intip-intip yang di belakang terus lewat spion." Seperti biasa, Arvin tidak sungkan untuk mengekspresikan apa saja yang dia rasakan. Bahkan, mengenai asmara, di depan orang tuanya pula.

Bahagia melihat putranya bisa tersenyum sumringah, Bu Indira berterima kasih pada Lova di dalam hatinya. Pasalnya, beberapa hari ini Arvin tampak uring-uringan tidak jelas. Pintu selalu dibanting, meneriakkan nama Lova di kamarnya, beberapa kali juga melemparkan tongkatnya dengan penuh amarah. Saat ditanya ada apa, jawabannya hanya satu kata, Lovata. Lihatlah sekarang, nama itu pula yang menjadi alasan Arvin tampak sumringah kembali.

"Jadi, karena Arvin sekarang lagi sakit, mami yang harus bikin jus tomat buat Lova?" Bu Indira geleng-geleng kepala saat putranya mengangguk tanpa dosa. Tapi tak apa, beliau rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan Arvin. "Ya sudah, kalian nonton aja dulu. Mami siapkan camilan buat kalian."

Merasa tidak enak hati, Lova ikut bangkit dari duduknya begitu Bu Indira berlalu. "Aku bantu Bu Indira. Kak Arvin di sini aja, ya?" Namun sayang, sepertinya Arvin tidak mau ditinggal. Dia menahan pergelangan tangan Lova sambil menggeleng layaknya anak kecil. "Kak, enggak enak kalau Bu Indira yang sibuk sendiri. Masa aku terima jadi aja? Enggak sopan banget kesannya."

Lova tersenyum saat Arvin melepaskan tangannya, meski dengan tatapan berat. Dia langsung menyusul Bu Indira sebelum kembali ditahan si tersangka. Dia bergerak mengambil alih beberapa tomat yang akan dicuci, sementara Bu Indira sedang menyiapkan kue kering. Jangan tanya bagaimana tidak karuannya perasaan Lova saat ini. Dia hanya bisa berharap tidak terjadi kecelakaan di dapur keluarga Arvin. Contohnya, menjatuhkan pisau ke kakinya atau menghancurkan blender kesayangan Bu Indira.

"Terima kasih, Lova," ucap Bu Indira tiba-tiba, berhasil membuat Lova berbalik. Sambil terus menata kue ke atas piring, Bu Indira melanjutkan perkataannya. "Tante tahu, beberapa hari ini kalian ada masalah. Suasana hati Arvin benar-benar buruk, dia suka marah-marah tidak jelas, bahkan bicara sendiri di kamarnya. Dan melihat dia bisa tersenyum lagi hari ini, tante tahu, kamu yang membuat dia kembali bahagia. Maka dari itu, tante harus berterima kasih sama kamu. Terima kasih karena kamu memutuskan untuk kembali ke sisi Arvin, bukan pergi."

Pergerakan Lova terhenti seketika. Dia juga memutuskan untuk mematikan keran, supaya bisa fokus dengan pembicaraan itu. "Saya minta maaf udah membuat Kak Arvin sedih beberapa hari ini. Jujur, kejadian itu juga disebabkan oleh saya." Lova menarik napas dalam-dalam. Dia harus bertanggung jawab pada sesuatu yang sudah dia perbuat. "Saya menjauhi Kak Arvin, Bu. Saya menghindari dia beberapa hari ini."

"Kenapa? Apa Arvin melakukan kesalahan yang fatal? Apa dia lepas kendali sampai membuat kamu terluka?" Bu Indira panik.

Lova menggeleng kuat. Berjalan mendekati Bu Indira supaya maksud perkataan bisa sampai dengan tepat. "Enggak, kok, Bu. Bu Indira tenang aja, Kak Arvin sama sekali enggak melakukan sesuatu yang menyakiti saya." Lova juga merasakan kelegaan yang sama saat Bu Indira membuang napas kasar. Perlahan, wajah paniknya berubah rileks. "Saya mau minta maaf sama Bu Indira, sama Pak Wisnu, terutama sama Kak Arvin juga. Saya ... sudah lancang menyimpan perasaan khusus ... untuk Kak Arvin."

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang