5. Sebuah Pengakuan

7.8K 1K 57
                                    

Lova hanya bisa menunduk saat ayahnya sedang berada tepat di hadapannya. Jika biasanya mereka cipika-cipiki, membuka sejumlah oleh-oleh bersama, atau bercengkrama panjang lebar menceritakan sejumlah pengalaman unik yang ayahnya alami saat bekerja di luar kota, kali ini justru terasa begitu dingin. Tatapan mata tajam yang sedari tadi tidak pernah lepas sudah Lova dapatkan dari sejak pertama kali muncul di balik gerbang. Biasanya, dia menyambut kedatangan sang ayah dengan piyama gambar Doraemon, kali ini justru Lova terlihat berbeda. Kemeja ungu tua, jelana jeans putih, sepatu kets warna senada, serta tas selempang hitam.

Lova baru saja pulang kencan dengan Arvin.

"Bunda kasih izin Lova pergi?" Suara dingin itu membuat suasana semakin menegangkan. Apalagi Bu Arumi, hampir saja copot jantung ditanya tiba-tiba seperti itu. Namun, pelan-pelan, Bu Arumi hanya bisa mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. "Kan, ayah udah bilang sama kalian semua, enggak boleh ada yang keluar kalau udah mau maghrib. Apalagi sama orang yang enggak ayah kenal. Yang ini, sudah pergi enggak minta izin sama ayah, pergi sama laki-laki yang enggak ayah kenal, pulangnya juga cuma naik taksi. Laki-laki macam apa yang bawa kamu pergi itu, Va?"

Perkenalkan, nama bapak-bapak yang sedang duduk di seberang meja adalah Pak Januardi, ayah kandung Lova dan Vanka yang terkenal lemah lembut tetapi bisa sangat tegas. Seperti sekarang, beliau tidak terima anak bungsunya melanggar aturan tidak tertulis yang beliau tetapkan untuk semua penghuni rumah, tidak ada yang boleh keluar setelah adzan Maghrib, apalagi tanpa izin beliau sebagai kepala keluarga. Beliau semakin marah saat tahu Lova pergi dengan seorang lelaki, tetapi pulangnya hanya naik taksi. Dari gerbang saja cara jalannya sudah mirip maling, mengendap-endap sambil terus memandang pintu utama. Bahunya langsung merosot saat tiba-tiba Pak Janu membuka pintu. Yah, kena sidang, batin Lova saat itu.

Beliau tidak pernah melarang putri-putrinya untuk menyukai lawan jenis, untuk berpacaran pun tidak masalah. Asalkan itu tidak mengganggu tugas utama mereka, yaitu belajar. Beliau juga tidak pernah marah jika nilai ulangan Lova hanya bisa mentok di KKM, yang penting anaknya sudah berusaha. Beliau tidak marah anaknya terus bermain ponsel atau menonton televisi, asal tugas sekolah sudah dikerjakan. Yang paling beliau tekankan dari dulu, memperkenalkan teman-teman kedua putrinya pada beliau, supaya mereka berdua tidak salah kaprah.

"Kenapa enggak diantar sama Mas Arvin, Va?" Bu Arumi bersuara, sedikit kecewa karena pemuda yang beliau sukai itu kali ini justru malah lepas tanggung jawab.

"Pak Wisnu masuk rumah sakit, Bun. Tadi dikasih kabar sama Bu Indira." Lova lebih berani mengangkat kepalanya untuk bicara dengan sang bunda dibandingkan untuk bertukar pandang dengan ayahnya. Jika sudah membuat kesalahan seperti ini, Lova selalu berusaha menjaga jarak, memberi ruang pada ayahnya untuk mendapat ketenangan. "Tadi, sebenarnya Kak Arvin maksa-maksa buat antar aku pulang, katanya dia harus tanggung jawab sama aku. Tapi, aku tetap minta dia buat segera ke rumah sakit, Pak Wisnu lebih butuh dia, anaknya." Lova kembali menunduk. "Aku minta maaf, Yah."

Terdengar suara Pak Janu yang membuang napas panjang. Rasa lelahnya tidak seberapa jika dibandingkam rasa khawatir terhadap putrinya, takut Lova salah jatuh hati, malah pada laki-laki yang tidak bertanggung jawab. "Ya sudah, ayah maafkan kamu. Tapi, untuk ke depannya nanti, kamu harus izin sama ayah kalau pergi. Apalagi ini sama lawan jenis, ayah khawatir."

"Maaf."

Tidak tega melihat putrinya terus menunduk, Pak Janu langsung berdiri dan bergerak merengkuh tubuh Lova. Beliau mencium puncak kepala Lova untuk menuntaskan rindu selama seminggu tinggal di kota orang. "Kamu berharga untuk ayah." Pak Janu menatap Vanka dan Bu Arumi. "Kamu, Vanka, Bunda, kalian semua sangat berharga untuk ayah. Ayah enggak bisa jaga kalian terus menerus, memastikan kalian semua aman. Maka dari itu, ayah perlu tahu kalian pergi ke mana, dengan siapa, pulang kapan, ayah perlu memastikan bahwa orang-orang yang berharga dalam hidup ayah akan kembali pulang setelah pergi dari rumah."

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang