Lova hanya bisa terdiam di ambang pintu saat melihat pandangan di depannya. Di sana, Tamara sedang duduk tepat di samping Arvin. Dia menggenggam tangan Arvin kuat-kuat sambil sesekali mengusapnya. Tatapan mata gadis cantik itu tampak meneduhkan, tapi ada kekhawatiran juga di sana. Tidak bisa dipungkiri, meskipun Lova keberatan untuk mengakui, mereka berdua tampak sangat serasi.
"Vin, kamu kenapa bisa kayak gini, sih? Aku khawatir banget sama kamu."
Meskipun tidak begitu dekat, tetpi Lova bisa mendengar isak tangis Tamara. Jika sudah begini, Lova tidak bisa lagi berpikir bahwa hanya dirinyalah yang akan menerima Arvin apa adanya, lengkap dengan erotomania yang dia derita. Di sana, ada seorang gadis yang-banyak orang bilang-lebih pantas bersanding dengan Arvin. Dia sedang menangis, mengkhawatirkan Arvin dengan begitu tulus. Berharap bahwa laki-laki yang sedang tertidur itu akan baik-baik saja.
"Ekhem!" Seperti biasa, Julian selalu datang meski Lova tidak mengharapkannya. Dia mengikuti arah pandang Lova, mendapati Tamara sedang mengecup punggung tangan Arvin berulang kali. "Dia Tamara, mantan pacar Arvin waktu SMP. Tapi, dia masih suka-"
"Aku tahu," potong Lova dengan cepat. Dia sudah muak, tidak bisa lagi bersikap sopan pada Julian. Mungkin karena pertanyaan terakhirnya di taman beberapa saat yang lalu. Bahkan sekarang, dia berani membalas tatapan Julian. "Kak Julian enggak perlu menjelaskan sesuatu yang sudah jadi rahasia umum di sekolah kita."
Tanpa alasan yang jelas, Julian tersenyum miring. Matanya masih setia memandangi Lova, mengabsen setiap bagian wajahnya. Mulai dari mata, hidung, bibir, dagu. Baiklah, Julian akui, Lova tidak terlalu buruk juga. Hanya saja, jika untuk menjadi alasan Arvin sampai mengalami gangguan kejiwaan, dia masih tidak bisa percaya. Apalagi dengan kacamata tebal itu, Julian gatal sendiri untuk melepasnya dari wajah Lova. Julian hanya berpikir, sepertinya Lova akan terlihat lebih baik tanpa kacamata itu.
Sebelum Lova menyadari, Julian segera menarik pandangannya, kembali memperhatikan Tamara dan Arvin melalui celah pintu yang tidak seberapa. "Gue percaya sama Arvin, dia enggak akan menyukai seseorang yang gak pantas untuk dia sukai. Meskipun pertemuan kita selalu berjalan kurang menyenangkan, gue tahu kalau lo orang yang baik. Hanya dengan kesediaan lo buat bantu Arvin sembuh, gue harus mengakui kalau lo punya hati malaikat."
"Kalau mengakui aku punya hati malaikat, seharusnya Kak Julian enggak bersikap kayak setan sama aku," gerutu Lova. Namun, dengan cepat dia melipat bibirnya. Meskipun dengan volume yang sangat kecil, tetapi masih bisa didengar dengan baik oleh Julian. Terbukti dengan lirikan tajam yang kembali dilemparkan pada Lova. "Aku cuma bicara fakta," lanjut Lova dengan wajah tanpa dosa.
"Jangan bikin gue menyesal udah puji lo!" sinis Julian. Dikasih hati, Lova malah meminta jantung. Gadis pendek itu tidak sungkan untuk berkata bahwa sikap Julian selama ini seperti setan. "Gue emang kayak gini, enggak bisa bersikap sok baik sama orang yang gak gue suka. Tapi, kalau orang itu baik, gue bisa lebih baik."
"Terserah!" Daripada terus memperhatikan interaksi Tamara dan Arvin, Lova lebih memilih untuk duduk di kursi yang ada di sana. Dan sialnya, Julian malah ikut duduk, bukannya masuk menghampiri sejoli yang dianggap bintang sekolah itu. Kalau sikapnya kurang menyenangkan kayak gini, gimana orang lain mau bersikap baik sama dia? Lova membatin.
Sementara itu Julian memenyilangkan tangannya menahan kepala, menengadah menatap langit-langit koridor rumah sakit. Dia masih kaget dengan kenyataan bahwa Arvin tidak baik-baik saja selama ini. Kapten tim basket yang selalu bersinar saat di lapangan, murid kesayangan para guru, sosok teman yang sangat menyenangkan untuk semua orang, ternyata terjebak dalam delusi diam-diam.
Julian ingat betul bagaimana mereka berdua bisa kenal. Saat itu, mereka masih berusia 6 tahun, masa di mana bermain adalah tujuan hidup mereka. Dan sedari kecil, Arvin sudah menyukai basket. Julian yang baru saja pindah ke perumahan elit tempat tinggalnya sekarang, hanya bisa berdiri di samping lapangan. Beberapa kali dia berdecak kagum dengan kemahiran Arvin untuk memutar bola basket di atas jari telunjuknya. Dan saat dia mendapati kehadiran Julian, Arvin tidak sungkan untuk mengajaknya bergabung. Dia juga yang mengajarkan Julian basket. Sebagai gantinya, Julian mengajarkan Arvin sebuah game online.
KAMU SEDANG MEMBACA
Erotomania [Tamat]
Teen FictionPernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah satu gangguan delusi di mana si penderita merasa yakin bahwa dia sedang dicintai seseorang. Kondisi paling parahnya, saat si penderita berp...