22. Tentang Masa Lalu

5.1K 768 72
                                    

Seperti biasa, Lova akan pergi memburu makanan jika besoknya akan menghadapi ujian. Bukan berarti dia tidak membawa sejumlah buku untuk belajar, Lova sudah siap siaga dengan buku-buku tebal yang beratnya hampir sama dengan satu karung beras. Belajar di kamar dengan pemandangan yang itu-itu saja membuat Lova stres. Jadi, dia membutuhkan suasana segar yang bebas oksigen supaya otaknya tidak meledak. Seperti sekarang, dia duduk di salah satu kursi kafe terbuka sambil menunggu Julian datang.

“Siapa cowok itu, sih?” Lova bertanya pada diri sendiri. Dia masih belum bisa menebak siapa yang sudah membayar jasa ojek payungnya beberapa hari yang lalu. “Kak Julian lagi main basket, Agus lagi di rumah, ayah pergi ke Bandung. Terus ... siapa?”

Bayangkan saja. Orang itu bukan hanya membayar ojek payung untuk Lova, tetapi juga setia diam di sana sampai Lova naik angkot. Lova tidak sepopuler putri kampus sampai harus memiliki pengagum rahasia segala. Apakah mungkin dia adalah ....

“Enggak mungkin. Haha ....” Lova tertawa sendiri, berusaha membantah apa yang sedang dipikirkannya. Sebuah nama muncul di kepala Lova, tetapi Lova tidak mau berekspektasi terlalu tinggi. “Mendingan aku cuci muka dulu, supaya bisa fokus belajar lagi.”

Tanpa membuang waktu lagi, Lova langsung bangkit dari duduknya. Dia tidak punya banyak waktu. Jika Julian sudah datang, pasti belajarnya akan terganggu oleh segudang kejahilan laki-laki itu. Namun, karena kurang memperhatikan jalan, Lova tidak sengaja menabrak seseorang. Minuman yang dibawa orang itu lantas tumpah membasahi baju Lova. Kemeja putih floral Lova kini sudah berubah menjadi warna merah.

“Gimana, sih, Mbak?! Kalau jalan lihat-lihat, dong!” Sewot orang itu. Jelas marah pada Lova. Wajahnya berubah galak, memperhatikan Lova yang masih sibuk dengan bajunya. Namun, saat mata mereka bertemu, pandangan orang itu langsung bergetar. “Lovata?”

Secara otomatis, Lova mengangkat kepalanya. Dia tidak kalah terkejut saat mendapati siapa yang batu saja dia tabrak. “Kak Tamara?” Hanya beberapa detik saja Lova berani memandang Lova. Gadis itu banyak berubah, masih tetap cantik dan juga modis. “Ma-maaf, Kak. Aku enggak sengaja. Aku ganti aja minumannya, ya?”

Baru saja Lova hendak pergi menuju meja pemesanan, Tamara langsung menahan tangannya. Mereka kembali bertukar pandang. Namun, tidak ada lagi pandangan kurang bersahabat dari Tamara. Tatapannya berubah sendu. “Gak usah diganti, enggak apa-apa. Lagian juga ... gue yang harusnya minta maaf sama lo, dari dulu.” Sudah lama Tamara ingin mengatakan ini, tapi selalu kalah oleh ego yang mengatakan dialah yang disakiti Lova. “Buat kejadian malam itu, gue bener-bener minta maaf.”

Jelas saja Lova kaget dengan penuturan Tamara ini. Sudah bertahun-tahun, dan dia masih mengingat kejadian itu. Kejadian di mana Lova hampir saja kehilangan nyawanya. Memang, mereka juga beberapa kali berpapasan saat masih SMA dulu. Namun  bukan lagi Lova yang berusaha menghindari Tamara, justru sebaliknya. Setiap kali mereka bertemu, detik selanjutnya Tamara akan hilang di tengah-tengah keramaian. Setiap kali mata mereka bertemu, Tamara selalu langsung mengajak temannya bicara. Dan ternyata, semua itu karena Tamara merasa bersalah pada Lova.

Lova tersenyum tipis. “Kak Tamara tenang aja, aku udah maafin, kok. Lagian juga, semuanya udah berlalu, udah lama banget.”

Mendengar itu, Tamara langsung melepaskan pegangannya di tangan Lova. “Makasih. Kalau gitu, gue duluan.” Sebenarnya, masih banyak yang ingin Tamara katakan, intinya tentang betapa menyesal hatinya atas apa yang terjadi di antara mereka pada masa putih abu-abu. Hanya saja, Tamara bingung menyampaikannya. Yang terpenting sekarang, dia sudah mendapatkan maaf Lova.

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang