Chapter 4 - First sight

352 28 1
                                    

"Didi, gimana di sekolah barunya?" Ayah membuka pembicaraan disela-sela acara makan malam kami. Ini adalah hari Minggu, jadi Ayah menyempatkan waktu luang untuk bersama keluarganya, di hari biasanya keluarga kami memang sering makan malam bersama di ruang makan, tetapi itu terasa tidak lengkap jika tidak ada Ayah. Maka dari itu, aku sangat senang jika Ayah menyempatkan waktunya untuk keluarga kami seperti ini, Ayah kan jarang pulang dikarenakan faktor pekerjaan. For your information, aku dipanggil 'Didi' jika di rumah, mungkin dari kecil karena aku suka dipanggil 'Dee Dee' yang dibaca 'Didi' halah, sudah seperti merk shampo.

"Biasa aja yah kalo soal sekolahnya, tapi kalo soal temen-temennya gak kalah seru sama di SMP!" jawabku dengan semangat.

"Ada yang ganteng gak?" Tanya Ayah dengan nada becanda.

"Nggak ada, yah ya ampun" ngeles sedikit tidak apa-apa kan? Aku malas jika orang tuaku sudah bertanya-tanya perihal yang seperti itu, pasti ujung-ujungnya aku diceramahi soal 'jangan pacaran dulu ya sebelum lulus sekolah' terutama sama Ayah, kalau Ibu sih masih memberi sedikit kebebasan kepada anak-anaknya, tetapi harus tahu batasannya juga.

"Ah bohong lu, gak mungkin banget! Masa satu sekolah gak ada yang ganteng? Oh jangan-jangan cowok di sekolah lu buduk-buduk semua lagi, ya?" cela kakakku disusul tawanya, lebih ke mengejek, sih sebenarnya. Dia memang senang membullyku depan Ayah.

"Sotoy dih! Enak aja, gak ganteng bukan berarti buduk, kan?!" jawabku dengan nada ketus.

"Udah udah. Pokonya kalo pilih cowok yang bener, yang sayang sama orang tuanya, yang mau diajak susah seneng, setia, yang soleh juga tuh, penting." Ayah sudah sering sebenarnya menasihatiku seperti ini sehingga aku sudah paham betul nada bicara, intonasi, dan kata-katanya seperti apa. Ayah memang sangat sayang kepada anak-anaknya, terutama dua anak perempuannya yang masih menduduki bangku sekolah.

"Iya, ayah" jawabku.

"Yang kayak gue nih," celetuk kakakku dengan gaya sok-sok membenarkan kerah bajunya yang sebenarnya tidak ada kerahnya.

"Geli," responku singkat sambil memutar bola mata bosan, Ayah hanya tersenyum jenaka melihat tingkah kami.

"Kalo Lintang gimana di kelas 8 nya?" Tanya Ayah pada Lintang yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, Lintang langsung terkesiap mendengar pertanyaan yang Ayah lontarkan untuknya.

"Kamu tuh, kalo lagi di meja makan hpnya disimpen, kebiasaan banget." Omel Ibu dari arah dapur sambil membawa mangkuk berukuran besar yang berisikan ayam rica-rica. Lintang menggembungkan pipinya dan langsung memasukkan ponsel ke saku celananya,

"Gak gimana-gimana, yah. Tapi gurunya lebih asik sih dibanding kelas 7, terus kelasnya enak sebelah kantin, hehe" jawab Lintang cengengesan.

"Jangan jajan mulu, loh. Nabung buat nanti perpisahan kelas 9, katanya mau ke Bali, kan?"

"Iya, kan masih lama, yah" Lintang memainkan bibirnya. Kami mulai menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring masing-masing "Ngomong-ngomong, kamu masih sama si Ridho, Tang?" Tanya Ibuku iseng.

"Apaan sih, Bu. Orang enggak" elak Lintang dengan jengkel. "Dia kan sekarang sama si Fazgdbbdgd" ucapan kakakku terpotong karena Lintang yang secepat kilat membekap mulut kakakku.

"Apaan sih, Bang. Comel banget! Maksud, ish" Lintang mengerutkan dahinya dengan kesal.

"Ei, udah Lintang, Alvin! Ayo makan" Ayah sebagai kepala keluarga berusaha menengahi, ia mulai memimpin do'a makan. Acara makan malampun berjalan dengan hangat. Sederhana, dengan pertengkaran-pertengkaran kecil namun membawa kesan kenyamanan.

*

Sore ini begitu dingin. Aroma-aroma tak asing ini memenuhi indra penciumanku, membuatku merasa sangat nyaman duduk di kursi panjang yang menggantung di depan Ruang BK ini.

honey deeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang